Jumat, 29 Januari 2016

Karakteristik Pembelajar Usia Dini

2.1. Pengertian Dan Hakikat Peserta Didik
Sebutan peserta didik dilegitimasikan ke dalam produk hukum kependidikan di Indonesia. Sebutan peserta didik dapat disebut pula dengan siswa atau murid atau pelajar atau student. (Danim, 2010)
Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), peserta didik didefinisikan sebagai setiap manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. (Danim, 2010)
Peserta didik juga didefinisikan sebagai orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar yang masih perlu dikembangkan. Potensi yang dimaksud umumnya terdiri dari tiga kategori, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Peserta didik esensinya adalah setiap peserta didik yang berusaha mengembangkan potensi pada jalur pendidikan formal dan nonformal menurut jenjang dan jenisnya. (Danim, 2010)
Ada hal-hal yang esensial mengenai hakikat peserta didik diantaranya :
1.    Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi potensi dasar kognitif atau intelektual, afektif, dan psikomotor.
2.    Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi periodisasi perkembangan dan pertumbuhan, meski memiliki pola yang relatif sama.
3.    Peserta didik memiliki imajinasi, persepsi, dan dunianya sendiri, bukan miniatur orang dewasa.
4.    Peserta didik merupakan manusia yang memiliki diferensiasi kebutuhan yang harus dipenuhi, baik jasmani maupun rohani, meski dalam hal-hal tertentu banyak kesamaannya.
5.    Peserta didik merupakan manusia bertanggungjawab bagi proses belajar pribadi dan menjadi pembelajar sejati, sesuai dengan wawasan pendidikan sepanjang hayat.
6.    Peserta didik memiliki daya adaptabilitas di dalam kelompok sekaligus mengembangkan dimensi individualitasnya sebagai insan yang unik.
7.    Peserta didik memerlukan pembinaan dan pengembangan secara individual dan kelompok, serta mengharapkan perlakuan yang manusiawi dari orang dewasa, termasuk gurunya.
8.    Peseta didik merupakan insan yang visioner dan proaktif dalam menghadapi lingkungannya.
9.    Peserta didik sejatinya berperilaku baik dan lingkungan yang paling dominan untuk membuatnya lebih baik lagi atau menjadi lebih buruk.
10.     Peserta didik merupakan makhluk Tuhan yang meski memiliki aneka keunggulan, namun tidak akan mungkin bisa berbuat atau dipaksa melakukan sesuatu melebihi kapasitasnya. (Danim,2010)

2.2. Karakteristik Peserta Didik Usia Awal
Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak (Yuliani Nurani Sujiono, 2009:7). Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age). Makanan yang bergizi dan seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tersebut. (Zhafari, 2012).
Yang dimaksud dengan anak usia dini atau anak prasekolah adalah
mereka yang berusia antara 0 sampai 6 tahun. Mereka biasanya mengikuti
program prasekolah atau kindergarten. Sedangkan di Indonesia umumnya
mereka mengikuti program tempat penitipan anak dan kelompok bermain
(playgroup). (Aryanti, 2012).
Anak usia dini (0 – 8 tahun) adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan, karena itulah usia dini dikatakan sebagai golden age (usia emas) yaitu usia yang sangat berharga dibanding usia-usia selanjutnya. Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik. Secara lebih rinci akan diuraikan karakteristik anak usia dini sebagai berikut :
1. Usia 0 – 1 tahun
Pada masa bayi perkembangan fisik mengalami kecepatan luar biasa, paling cepat dibanding usia selanjutnya. Berbagai kemampuan dan keterampilan dasar dipelajari anak pada usia ini. Beberapa karakteristik anak usia bayi dapat dijelaskan antara lain :
1.    Mempelajari keterampilan motorik mulai dari berguling, merangkak, duduk, berdiri dan berjalan.
2.    Mempelajari keterampilan menggunakan panca indera, seperti melihat atau mengamati, meraba, mendengar, mencium dan mengecap dengan memasukkan setiap benda ke mulutnya.
3.    Mempelajari komunikasi sosial. Bayi yang baru lahir telah siap melaksanakan kontrak sosial dengan lingkungannya. Komunikasi responsif dari orang dewasa akan mendorong dan memperluas respon verbal dan non verbal bayi.
            Berbagai kemampuan dan keterampilan dasar tersebut merupakan modal penting bagi anak untuk menjalani proses perkembangan selanjutnya.
2. Usia 2 – 3 tahun    
Anak pada usia ini memiliki beberapa kesamaan karakteristik dengan masa sebelumnya. Secara fisik anak masih mengalami pertumbuhan yang pesat. Beberapa karakteristik khusus yang dilalui anak usia 2 – 3 tahun antara lain :
1.    Anak sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya. Ia memiliki kekuatan observasi yang tajam dan keinginan belajar yang luar biasa. Eksplorasi yang dilakukan oleh anak terhadap benda-benda apa saja yang ditemui merupakan proses belajar yang sangat efektif. Motivasi belajar anak pada usia tersebut menempati grafik tertinggi dibanding sepanjang usianya bila tidak ada hambatan dari lingkungan.
2.    Anak mulai mengembangkan kemampuan berbahasa. Diawali dengan berceloteh, kemudian satu dua kata dan kalimat yang belum jelas maknanya. Anak terus belajar dan berkomunikasi, memahami pembicaraan orang lain dan belajar mengungkapkan isi hati dan pikiran.
3.    Anak mulai belajar mengembangkan emosi. Perkembangan emosi anak didasarkan pada bagaimana lingkungan memperlakukan dia. Sebab emosi bukan ditemukan oleh bawaan namun lebih banyak pada lingkungan.
3. Usia 4 - 6 tahun
Anak usia 4 – 6 tahun memiliki karakteristik antara lain :
1.    Berkaitan dengan perkembangan fisik, anak sangat aktif melakukan berbagai kegiatan. Hal ini bermanfaat untuk mengembangkan otot-otot kecil maupun besar.
2.    Perkembangan bahasa juga semakin baik. Anak sudah mampu memahami pembicaraan orang lain dan mampu mengungkapkan pikirannya dalam batas-batas tertentu.
3.    Perkembangan kognitif (daya pikir) sangat pesat, ditunjukkan dengan rasa ingin tahu anak yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar. Hal itu terlihat dari seringnya anak menanyakan segala sesuatu yang dilihat.
4.    Bentuk permainan anak masih bersifat individu, bukan permainan sosial. Walaupun aktivitas bermain dilakukan anak secara bersama.
4. Usia 7 - 8 tahun
Karakteristik perkembangan anak usia 7 – 8 tahun antara lain :
1.    Perkembangan kognitif anak masih berada pada masa yang cepat. Dari segi kemampuan, secara kognitif anak sudah mampu berpikir bagian per bagian. Artinya anak sudah mampu berpikir analisis dan sintesis, deduktif dan induktif.
2.    Perkembangan sosial anak mulai ingin melepaskan diri dari otoritas orangtuanya. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan anak untuk selalu bermain di luar rumah bergaul dengan teman sebaya.
3.    Anak mulai menyukai permainan sosial. Bentuk permainan yang melibatkan banyak orang dengan saling berinteraksi.
4.    Perkembangan emosi anak sudah mulai berbentuk dan tampak sebagai bagian dari kepribadian anak. Walaupun pada usia ini masih pada taraf pembentukan, namun pengalaman anak sebenarnya telah menampakkan hasil. (Utami, 2012).
Ada berbagai kajian tentang hakikat anak usia dini, khususnya anak TK diantaranya oleh Bredecamp dan Copple, Brener, serta Kellough (dalam Masitoh dkk., 2005: 1.12 – 1.13) sebagai berikut.
1.  Anak bersifat unik.
2.  Anak mengekspresikan perilakunya secara relatif spontan.
3.  Anak bersifat aktif dan enerjik.
4.  Anak itu egosentris.
5.  Anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal.
6.  Anak bersifat eksploratif dan berjiwa petualang.
7.  Anak umumnya kaya dengan fantasi.
8.  Anak masih mudah frustrasi.
9.  Anak masih kurang pertimbangan dalam bertindak.
10.   Anak memiliki daya perhatian yang pendek.
11.  Masa anak merupakan masa belajar yang paling potensial.
12.   Anak semakin menunjukkan minat terhadap teman. (Zhafari, 2012).
5. Usia 9 - 10 tahun
1.  Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi.
2.  Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.
3.  Adanya kecenderungan memuji diri sendiri.
4.  Membandingkan dirinya dengan anak yang lain.
5.  Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.
6.  Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
        Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
6. Usia 11 – 12 tahun
1.  Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.
2.  Amat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar.
3.  Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus.
4.  Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya.
5.  Selepas usia ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.
6.  Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai prestasi sekolahnya.
7.  Gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan itu mereka tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri. (Achmad, 2013).

2.3. Hakikat Belajar Pembelajar Usia Awal
Belajar (learning) merupakan kegiatan paling pokok dalam mencapai perkembangan individu dan mempermudah pencapaian tujuan institusional suatu lembaga pendidikan. Hal ini berarti berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan itu sangat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa. (Rakhmat, dkk.2006)
Menurut Witherington (1950) mengemukakan belajar sebagai sebuah perubahan kepribadian yang dimanifestasikan kepada suatu pola respon individu yang mungkin berupa keterampilan, sikap, atau peningkatan pemahaman atas sesuatu. (Rakhmat, dkk. 2006)
Menurut Skinner (1968) mengatakan belajar ialah proses adaptasi tingkah laku secara progresif. Gagne (1977) menyatakan bahwa belajar terjadi apabila suatu stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi. (Rakhmat, dkk. 2006)
Dari pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa “belajar adalah kegiatan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan baru baik dilakukan sengaja maupun secara kebetulan”. Belajar dapat melibatkan kegiatan penguasaan informasi baru atau keterampilan berbagai sikap baru, pengertian atau nilai. Belajar biasanya disertai perubahan prilaku yang terjadi di dalam dan sepanjang kehidupan. (Rakhmat, dkk. 2006)
Belajar merupakan upaya untuk menguasai sesuatu yang baru serta perubahan perilaku dari individu yang relative permanen karena suatu pengalaman, bukan karena kematangan biologis semata. (Herninofriyanti, 2012)
Dari pengertian diatas, berarti konsep belajar pada anak ada dua hal yang terpenting, yaitu :
1.    Mengalami
Belajar adalah serangkaian aktivitas yang dialami seseorang melalui interaksinya dengan lingkungan interaksi tersebut mungkin berawal dari faktor yang berasal dalam atau dari luar diri individu. Dengan terjadinya interaksi dengan lingkungan, akan menyebabkan munculnya proses penghayatan dalam diri individu tersebut, akan memungkinkan terjadinya perubahan pada yang bersangkutan.
2.    Perubahan
Proses yang dialami seseorang baru dikatakan mempunyai makna belajar, badan menghasilkan perubahan dalam diri yang bersangkutan, esensi dari perubahan ialah adanya yang baru. Dia mungkin bahagia dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik, dapat menjaga kesehatan dengan lebih baik atau dapat menulis dan berbicara dengan efektif.
Makna perubahan disini berarti arah yang sejatinya dari peristiwa belajar. Seseorang belajar karena menghendaki perubahan. Kalau diri tidak ingin berubah, maka tidak perlulah belajar, begitu juga sebalikya, kalau merubah diri ke yang lebih baik maka belajarlah.
Perubahan yang dimaksud adalah :
·       Dari tidak tahu menjadi tahu (perubahan pengetahuan)
·       Dari tidak bisa menjadi bisa (perubahan cara berfikir)
·       Dari tidak mau menjadi mau (perubahan perilaku)
·       Dari tidak biasa menjadi terbiasa (perubahan perilaku)
Empat arti perubahan ini merupakan fenomena tingkah laku individu yang saling mempengaruhi  dengan kesadarannya, apa yang ia tahu, bisa, mau dan terbiasa merupakan isi pokok tingkah laku individu secara terkendali dan menjadi penentu bagi arah, aspek dinamika, dan capaian dari tingkah laku itu. (Herninofriyanti, 2012)

2.4. Karakteristik Belajar Pembelajar Usia Awal
Meskipunusiadinimerupakanrentangusiadimanaanakmengalamimasa-masa golden age bukanberartianakharusdijejalidenganberbagaipembelajaran yang memberatkan, melainkananakharusdibimbingdandididikberdasarkanpadakarakteristikbelajarnyasebagaibentukmempersiapkandiriuntukkehidupanselanjutnya. (Hafifah, 2013)
Anak memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang dewasa dalam berperilaku. Dengan demikian dalam hal belajar anak juga memiliki karakteristik yang tidak sama pula dengan orang dewasa. Karakteristik cara belajar anak merupakan fenomena yang harus dipahami dan dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran untuk anak usia dini. (Gunarsa, 1983).
Menurut Erikson perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah.
Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik. Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat. Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati tingkah laku anak remaja permulaan. (Evie, 2010).
Terdapat sejumlah karakteristik belajar pada anak usia dini, meliputi :
1.    Anak sebagai pembelajar aktif
Pendidikan hendaknya mengarahkan anak untuk menjadi pembelajar yang aktif. Pendidikan yang dirancang secara kreatif akan menghasilkan pembelajar yang aktif. Anak-anak akan terbiasa belajar dan mempelajari berbagai aspek pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melalui berbagai aktivitas mengamati, mencari, menemukan, mendiskusikan, menyimpulkan, mengemukakan sendiri berbagai hal yang ditemukan pada lingkungan sekitar. Proses pendidikan seperti ini merupakan wujud pembelajaran yang bertumpu pada aktivitas belajar anak secara aktif atau yang dikenal dengan istilah ”Cara Belajar Siswa Aktif” (CBSA = Student Active Learning).
Montessori dalam Seldin (2004:5) menganggap bahwa anak tidak perlu dilatih terus menerus menulis suatu kata, karena sambil bermain aktif membuat huruf dan mengarsir huruf itu, pada suatu saat anak mengetahui bahwa anak dapat menulis, peristiwa itu dinamakan letusan menulis atau eksplosi menulis. Pada prinsipnya, biarkan anak mencari tau sesuatu  dengan terlibat langsung atau praktik langsung, tidak hanya melalui penjelasan guru. Maksudnya adalah anak dirangsang untuk mempelajari sendiri materi-materi yang diberikan oleh guru, karena disini guru berfungsi sebagai mediator dan fasilitator saja. Tujuannya yaitu mengembangkan aspek kognitif anak dan membangun self-esteem dan self-confidence anak.
Anak dapat belajar dengan baik sejak dini, karena bila dikaji alasannya, yaitu agar anak dapat bersosialisai yang merupakan gambaran harapan orangtua agar anak lebih termotivasi mempelajari keterampilan tertentu melalui teman-temannya. Pada konsep ini guru hanya sebagai fasilitator yang mengawasi serta menuntun anak agar tetap pada jalurnya.
Metode yang diberikan kepada anak berbentuk pemecahan masalah dan penyampaian penemuan mereka. Pendidik hanya berfungsi sebagai pengawas dan mediator. Dengan demikian, anak dituntut untuk aktif dan bekerja produktif untuk menemukan pengetahuan.
2.    Anak belajar melalui sensori dan panca indera
Anak memperoleh pengetahuan melalui sensorinya, anak dapat melihat melalui bayangan yang ditangkap oleh matanya, anak dapat mendengarkan bunyi melalui telinganya, anak dapat merasakan panas dan dingin lewat perabaannya, anak dapat membedakan bau melalui hidung dan anak dapat mengetahui aneka rasa melalui lidahnya. Oleh karena itu, pembelajaran pada anak hendaknya mengarahkan anak pada berbagai kemampuan yang dapat dilakukan oelh seluruh inderanya.
Anak belajar melalui sensori dan panca indera menurut pandangan dasar Montessori yang meyakini bahwa panca indera adalah pintu gerbang masuknya berbagai pengetahuan ke dalam otak manusia (anak), karena perannya yang sangat strategis maka seluruh panca indera harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan fungsinya.
3.    Anak membangun pengetahuan sendiri
Menurut Pestalozzi dalam Soejono (1988:32), pendidikan pada hakikatnya usaha pertolongan (bantuan) pada anak agar anak mampu menolong dirinya sendiri yang dikenal “Hilfe Zur Selfbsthilfe”. Pestalozzi berpandangan, pengamatan seorang anak pada sesuatu akan menimbulkan pengertian, bahkan pengertian yang tanpa pengamatan merupakan sesuatu pengertian yang kosong.
Sejak lahir anak diberi berbagai kemampuan. Dalam konsep ini anak dibiarkan belajar melalui pengalaman-pengalaman dan pengetahuan yang dialaminya sejak anak lahir dan pengetahuan yang telah anak dapatkan selama hidup. Konsep ini diberikan agar anak dirangsang untuk menambah pengetahuan yang telah diberikan melalui materi-materi yang disampaikan oleh guru dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk berpikir, percaya diri dan kreatif dalam mencari dan mendapatkan pengetahuan yang mereka ingin dapatkan. Pendidik dan orangtua hanya berfungsi sebagai fasilitator atau tempat anak bertanya.
4.    Anak berpikir melalui benda konkret
Anak dirangsang untuk berpikir dengan metode pembelajaran yang menggunakan benda nyata sebagai contoh materi-materi pelajaran. Terciptanya pengalaman melalui benda nyata diharapkan agar anak lebih mengerti maksud dari materi-materi yang diajarkan oleh guru. Anak lebih mengingat suatu benda-benda yang dapat dilihat, dipegang lebih membekas dan dapat diterima oleh otak dalam sensasi dan memory (long term memory dalam bentuk simbol-simbol). Anak usia dini dapat menyerap pengalaman dengan mudah melalui benda-benda yang bersifat konkret (nyata).
5.    Anak belajar dari lingkungan
Alam sebagai sarana pembelajaran. Hal ini didasarkan pada beberapa teori pembelajaran yang menjadikan alam sebagai sarana yang tak terbatas bagi anak untuk bereksplorasi dan berinteraksi dengan alam dalam membangun pengetahuannya. Out bound learning merupakan salah satu model pembelajaran dimana hampir 90% kegiatan dilakukan dengan berinteraksi dengan alam tanpa ada batasan. Dalam hal ini, anak diajarkan untuk dapat membangun ikatan emosional di antara individu (anak), yaitu dengan menciptakan kesenangan belajar, menjalin hubungan dan mempengaruhi memori dan ingatan yang cukup lama akan bahan-bahan yang telah dipelajari. (Yuliani Nurani Sujiono, 2009).
Adapun karakteristik cara belajar anak menurut Masitoh dkk. adalah :   
1.    Anak belajar melalui bermain.
Dalamkenyataan di lapanganternyatamasyarakat Indonesia masihmemilikipemikiranbahwapembelajaran yang senantiasadilakukanpadapendidikandasaradalahmembaca,menulisdanberhitung (calistung) baikitu di sekolahdasarmaupun di Taman kanak-kanaksekalipun.Belajarcalistungmemangpadadasarnyapentingkarenahaltersebutmerupakandasaruntukmengembangkanpengetahuanselanjutnya yang akandipelajarianakpadatingkatan yang lebihtinggi. Tetapiberbicaraanakusiadini yang merupakanusia golden age,calistungbukanlahsuatuhal yang utamadalampembelajarankarenapadausiainipengembangantidaklahhanyapadaotakkirisajamelainkanharusadakeseimbanganantaraotakkiridanotakkanan, yang padadasarnyamenurutbeberapapenelitianakanterjadikemampuan yang luarbiasaketikakeduaotaktersebutdapatdifungsikan. (Hafifah, 2013).
Berdasarkanpadaisudiatas, National Association for the education of young children AmerikaSerikat (NAEYC)menertibkansuatupanduanpendidikanbagianakusiadini yang salahsatunyamenekankanpenerapanbermain (termasukbernyanyidanbercerita) sebagaialatutamabelajaranak. Sejalandenganitu, kebijakanpemerintah Indonesia di bidangpendidikanusiadini (1994/1995)jugamenganutprinsip “bermainsambilbelajarataubelajarserayabermain”. (Hafifah, 2013).
Tetapibudayaatauanggapanmasyarakattentangaktivitasbermain yang hanyadianggapmembuang-buangwaktuanakmasihsajaada.Berkenaandenganhaltersebut,Maxim (Sudirjo,2011:66) menjelaskanbahwasekurang-kurangnyaadaduaalasan yang menyebabkan orang kurangmenghargaiaktivitasbermainanak.Pertamaadalahpengaruhhistorisdarietikabekerja.Etikabekerjamengimplikasikanbahwasegalaaktivitas yang berhubungandengankesenanganbukanlahbekerja.Keduaadalahkarenapengaruhlangsung yang diperolahdariaktivitasbermaintidakjelas,sedangkanpengaruhlangsungdarikegiatanpengajaranterstrukturdapatdenganmudahdiketahui. (Hafifah, 2013).
2.      Anak belajar dengan cara membangun pengetahuannya.
Hal inidapatdiartikanbahwaanakbelajardenganpengalamannyasecaralangsung, guru hanyabertugasmemberikanfasilitasdan stimulus padaanak agar anakterangsanguntukmelakukansebuahaktivitaspembelajaran,sehinggapadaakhirnyaanakakanmendapatkansebuahpengalamanbaru yang nantinyaakandisimpulkanmenjadisebuah proses belajar yang berawaldariketidaktahuanmenjaditahusebagaiakibatdaripengalamanlangsungtersebut. (Hafifah, 2013).
3.      Anak belajar secara alamiah.
Anakbelajardengankemampuan, potensisertaapa yang diamilikitanpaadapaksaanatautuntutan yang berlebihan, sehinggaanaktumbuhdanberkembangsesuaidengan fitrahnya melalui cara belajar alamiah. (Hafifah, 2013).
4.Anak belajar paling baik jika apa yang dipelajarinya mempertimbangkan keseluruhan aspek pengembangan, bermakna, menarik, dan fungsional.(Hafifah, 2013).

2.5. Pembelajaran Bahasa Inggris Untuk Usia 0 – 12 Tahun
Bahasa Inggris adalah bahasa internasional, sangat berguna dan penting, dengan bahasa Inggris kita dapat berkomunikasi melalui dunia. Di Indonesia bahasa Inggris adalah bahasa asing, tetapi sangat populer, diajarkan di semua tahapan pendidikan. Dalam beberapa tahun, mengajar bahasa asing kepada anak-anak dipandang sebagai sesuatu tambahan untuk kurikulum normal dari sistem sekolah. (NN, 2012)
Pengajaran Bahasa Inggris untuk pelajar muda akan sangat berbeda dengan mengajar bahasa Inggris untuk dewasa. Pelajar muda yang unik. Mereka berbeda dengan orang dewasa, mereka memiliki kebutuhan yang sangat berbeda, minat dan kemampuan dari orang dewasa dan lebih antusias daripada orang dewasa dalam kegiatan bahasa. Di Indonesia, minat mengajar bahasa Inggris kepada pelajar muda telah terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang tua percaya bahwa dengan belajar bahasa Inggris sejak dini anak-anak mereka akan mendapatkan masa depan yang lebih baik. Karena itu Kementerian Pendidikan Indonesia telah mulai menanggapi dengan memperkenalkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing di sekolah dasar, bahkan di TK. (NN, 2012)
            Menggunakan lagu adalah salah satu cara yang luar biasa dalam memperkenalkan kosa kata bahasa Inggris untuk pelajar muda. Peserta didik, orang tua, dan guru bisa mendapatkan banyak manfaat dari metode ini. Dalam paragraf berikut, kita akan mengklasifikasikan dan menjelaskan secara rinci manfaat menggunakan lagu dalam belajar bahasa Inggris dengan melihat sisi pelajar muda itu sendiri, guru, dan orang tua. (NN, 2012)
            Orlova (1997) mengidentifikasi bahwa lagu dapat mendorong peserta didik untuk menggunakan bahasa Inggris. Para guru bahasa Inggris dari banyak negara-negara non-berbahasa Inggris menemukan kesulitan dalam merangsang peserta didik untuk menggunakan bahasa Inggris dalam berbicara; lagu mungkin menjadi titik awal untuk melatih siswa dalam berbicara bahasa Inggris. Ini akan
membantu guru dalam memotivasi siswa untuk lebih aktif dan percaya diri untuk berbicara bahasa Inggris. Misalnya, Joshua, anak tiga tahun, yang memiliki keahlian dalam berbicara bahasa Inggris dengan orang lain. Dalam usianya tiga, ia mampu memperkenalkan diri, menanyakan nama seseorang, mengatakan apa yang ia lakukan baru-baru ini, dll. Dia memiliki keyakinan karena ia telah memiliki perbendaharaan kata yang baik dalam pikirannya dan lagu membantu dia untuk belajar bagaimana untuk menghafal kata-kata asing dan struktur mereka dalam sebuah kalimat dengan mudah. (NN, 2012)
            Musik dapat memiliki peran yang sangat bermanfaat dalam mengajar pelajar muda. Hal ini dapat membantu untuk mendirikan sebuah kelas 'suasana', hal itu dapat membuat belajar lebih berkesan dan dapat memberikan rasa aman dan kenyamanan kepada anak-anak. Lagu-lagu dan nyanyian, dalam partikular, sangat berguna dalam mengembangkan kepercayaan diri dalam bahasa Inggris dan memberikan latihan, tapi musik instrumental juga dapat digunakan untuk efek yang besar dalam kelas. (NN, 2012)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar