Jumat, 29 Januari 2016

Kedudukan Anak Dalam Berbagai Perspektif

A.  Kedudukan Anak Dalam Berbagai Pandangan
Kedudukan anak dalam keluarga khususnya yang menyangkut identitas anak sudah jelas diatur didalam UU No. 23 Tahun 2002 pasal 27 (1,2,3,4) yang menyatakan bahwa identitas anak harus diberikan sejak kelahiranya dalam bentuk akta kelahiran. Dalam pembuatan akte kelahiran itu harus ada saksinya yaitu orang yang menyaksikan atau membantu proses kelahirannya. Sedangkan untuk anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan keberadaannya tidak diketahui (anak yang dibuang) maka dalam pembuatan akta kelahiran itu atas nama orang yang menemukan.
Kedudukan anak bagi orang tuanya dalam pandangan Islam, yaitu :
1.    Anak sebagai Rahmat
Salah satu Rahmat Allah bagi orang tua adalah rahmat di Karuniai anak. Sesuai Firman Allah SWT :  "...dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka sebagai suatu Rahmat dari sisi Kami" (QS. Al-Anbiya : 84)
2.    Anak sebagai Amanah
Amanah berarti suatu yang harus di pertanggung jawabkan nanti dihadapan Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW "..Suami sebagai pimpinan didalam rumah tangganya dan dia bertanggung jawab dalam rumah tangganya..." (HR. Bukhori Muslim). Karena anak sebagai amanah bagi orang tuanya, maka kewajiban orang tua untuk memelihara, membimbing dan mendidik anak agar menjadi anak yang sholeh.
3.    Anak sebagai Ujian
Hidup ini adalah ujian. Segala apa yg dianugerahkan Allah kepada kita merupakan ujian-Nya. Termasuk harta dan anak sesuai Firman Allah SWT : "Dan ketahuilah, harta-hartamu dan anak-anakmu itu adalah sebagai ujian (fitnah)" (QS. Al Anfal : 28)
4.    Anak sebagai Media Beramal
Semua jerih payah orang tua dalam bekerja keras untuk nafkah anak adalah sedekah. Rasulullah SAW bersabda : " Apabila orang tua memberi nafkah terhadap keluarganya dan ia mengharapkan pahala karenanya, maka nafkah itu menjadi sedekah baginya" (HR. Bukhori Muslim)
5. Anak sebagai Amal Jariyah
Anak dapat memberikan pertolongan kepada orang tuanya ketika masih hidup dan setelah mati, bila anak itu adalah anak yang sholeh. Disebutkan dalam hadist Nabi SAW : "Apabila manusia mati, maka putuslah semua amalnya kecuali 3 perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang mendoakan orang tuanya" (HR. Bukhori Muslim)
Dalam masyarakat, hukum adat berbeda dari masyarakat yang modern, dimana keluarga atau rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak asuh, anak akuan dan sebagainya. Kesemua anak–nak itu ada kaitannya dengan hak dan kewajiban orang tua yang mengurus atau memeliharanya, begitupula sebaliknya. Kedudukan anak–anak tersebut pengaturannya juga berlatar belakang pada susunan masyarakat adat yang bersangkutan dan bentuk perkawinan orang tua yang berlaku.
Masalah kedudukan anak dalam hukum juga diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, yaitu pada BAB IX pasal 42 sampai dengan pasal 47. Pasal 42 mengatakan, anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sementara perkawinan yang sah itu, adalah perkawinan yang memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Pokok Perkawinan. Menurut pasal itu, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedudukan anak dalam pembelajaran ialah sebagai seorang peserta didik. Dimana peserta didik harus dapat menerapkan sikap hormat terhadap pendidiknya. Ia harus menempatkan dirinya lebih sederhana ketimbang pendidiknya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang anak didik untuk selalu berlaku sopan terhadap pendidiknya.

B.  Pemenuhan Perlindungan Hak Anak
Perlindungan hak anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari HAM. Menghormati, menegakkan dan mengimplementasikan hak asasi anak sejalan dengan penegakan dan implementasi HAM itu sendiri. Namun kenyataannya hak asasi anak masih berada pada posisi yang terpinggirkan dan dianggap sebagai masalah sekunder dalam penegakan HAM. Akibat kurangnya perlindungan terhadap anak, maka mereka sering di eksploitasi untuk mendatangkan keuntungan. Meskipun perbudakan telah dinyatakan sebagai tindakan melanggar hukum, namun banyak keadaan membuat kehidupan anak yang bekerja mendekati perbudakan. Hal ini mencakup eksploitasi buruh anak, penjualan anak, pelacuran yang dipaksa, serta penjualan narkotika dengan penelantaran anak-anak.
Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai seperangkat peraturan perundang-undangan untuk menjamin hak-hak anak untuk mengurangi dampak bekerja dari anak seperti UUD 1945, ratifikasi Konvensi ILO No. 138 menjadi UU No. 20/1999 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja, ratifikasi Konvensi ILO 182 menjadi UU No. 1/2000 tentang Pelanggaran dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Walaupun ada seperangkat peraturan perundang-undangan yang melindungi pekerja anak, tetapi kualitas permasalahannya dari tahun ke tahun mengalami perkembangan kompleksitas menuju bentuk-bentuk pekerjaan terburuk eksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral, sosial dan intelektual anak. Jenis pekerjaan terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan, anak yang diperdagangkan, anak bekerja di pertambangan, anak jermal dan lain-lain.
Dari segi hak anak, yang sangat memprihatinkan adalah anak-anak yang bekerja umumnya berada dalam posisi rentan untuk diperlakukan salah, termasuk eksploitasi oleh orang lain, khususnya oleh orang dewasa atau suatu sistem yang memperoleh keuntungan dari tenaga anak. Berbagai studi
dan pengamatan menunjukkan bahwa pekerja anak umumnya sangat rentan terhadap eksploitasi ekonomi.
Jika mengacu kepada konvensi Internasional tentang perlindungan hak anak, ada beberapa aspek yang menjadi tanggungjawab masyarakat dan negara dalam memenuhi hak-hak anak, antara lain :
1.)      Hak Beragama
Perlindungan hak agama bagi anak menurut Konvensi Hak Anak (KHA) tidak menjadi bagian tersendiri tapi bagian dari hak sipil yaitu hak untuk bebas berpikir, berhati nurani, dan beragama. Dalam UU nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 42 ayat (1) ditegaskan bahwa, anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. Kemudian dalam ayat (2) dijelaskan bahwa agama yang peluk anak mengikuti orang tuanya sebelum ia dapat menentukan pilihannya. Yang bertanggung jawab terhadap hak tersebut dijelaskan dalam pasal 43 (1) adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua, wali dan lembaga sosial.
2.)      Hak Sipil
Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) disebut dengan hak-hak sipil dan kemerdekaan bagi anak erat kaitannya dengan hak-hak sipil dan kemerdekaan seperti : (1) hak atas nama, kebangsaan, dan mengetahui dan diasuh oleh orangtuanya; (2) hak memiliki kewarganegaraan; (3) hak mengeluarkan pendapat; (4) hak untuk bebas berpikir, berhati nurani, dan beragama; (5) hak untuk bebas berkumpul. (6) hak untuk tidak diganggu kehidupan pribadinya; (7) hak memperoleh informasi; dan (8) hak untuk tidak menerima siksaan, kekejaman, perlakuan, dan hukuman tidak manusiawi.
3.)      Hak Kesehatan
Adapun yang termasuk hak kesejahteraan kesehatan menurut Konvensi Hak Anak Konvensi Hak Anak (KHA) adalah : (1) hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; (2) hak untuk tidak diganggu kehidupan pribadinya; (3) hak pelayanan, perawatan bagi anak yang orangtuanya bekerja; (4) hak anak yang cacat mental dan fisik; (5) hak menikmati status kesehatan tertinggi dan memperoleh sarana perawatan penyakit dan pemulihan kesehatan; dan (6) hak atas hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental dan spiritual, moral dan sosial anak.
4.)      Hak Pendidikan
Dalam Konvensi Hak Anak, Konvensi Hak Anak (KHA) disebut dengan hak pendidikan. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 48, 51, 52 dan 54 disebutkan bahwa penyelanggaraan perlindungan anak di bidang pendidikan dilaksanakan sebagai berikut : (1) semua anak wajib belajar 9 (sembilan) tahun; (2) memberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental; (3) memberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan; dan (4) melindungi anak dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya ketika berada dalam lingkungan sekolah.
Sedangkan yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 48, 49 dan 53 adalah orang tua, masyarakat dan pemerintah.
5.)      Hak Sosial dan Ekonomi
Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) hak inidisebut hak perlindungan khusus. Menjaga harta anak dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari hidup terlantar. Dalam perspektif hukum Islam, hak sosial dan ekonomi dapat diseja­jarkan dengan istilah hifzh al-maal yang dalam praktiknya, perlindungan hak dilakukan melalui : (1) menyediakan baitul mal dan zakat. Islam telah mensyari­’atkan untuk memelihara baitul mal (kas negara) bagi zakat yang diurus oleh negara Islam dan membagikan zakat itu kepada orang-orang yang berhak menerimanya termasuk anak-anak yang tidak mampu; (2) membantu keluarga anak miskin. Islam menganggap pemberian bantuan kepada orang lapar dan miskin pada sulit dan susah; dan (3) memberikan jaminan keluarga. Islam telah memberlakukan undang-undang jaminan keluarga bagi setiap anak yang lahir dari seorang muslim, baik itu anak seorang pejabat pemerintah, pegawai, pekerja, maupun rakyat biasa.

C.  Perlindungan Hak Anak
Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehinga negara berkewajiban untuk memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Selain pemerintah, masyarakat, keluarga, dan khususnya orang tua juga turut berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Untuk itu pemerintah mengeluarkan atau mengesahkan undang-undang tentang perlindungan anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 dengan tujuan perlindungan terhadap anak.
Pemerintah Indonesia dalam usahanya untuk menjamin dan mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak adalah melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang ini dijelaskan pula tentang definisi perlindungan anak didalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 (2) yang berbunyi “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungai anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada prinsipnya asas-asas yang digunakan dalam UU No. 23 tahun 2002 ini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam konvensi hak-hak anak. Asas-asas ini terdapat dalam pasal 2 UU No. 23 tahun 2003, yaitu :
  1. Asas non diskriminasi
Asas non diskriminasi ialah setiap anak harus dilindungi dari segala perlakuan diskriminasi baik dari suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
  1. Asas kepentingan yang terbaik bagi anak
Asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama.
  1. Asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
Asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
  1. Asas penghargaan terhadap hak anak
Asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Selain dari Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Bab III Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia pada Bagian Kesepuluh, yang mengatur mengenai hak anak. Bagian yang mempunyai judul Hak Anak ini memberikan ketentuan pengaturan yang dituangkan ke dalam 15 (lima belas) pasal, dimana dalam Pasal 52 ayat (2) disebutkan bahwa, “Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan”.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjamin kesejahteraan pada setiap warga negaranya salah satunya adalah dengan memberikan perlindungan terhadap hak anak yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Orangtua dalam hal ini mempunyai peran yang penting atas kelangsungan hak anak. Dalam Pasal 26 ayat 1 UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a.    Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b.    Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c.    Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak
d.   Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Artinya bahwa orangtua harus memenuhi hak-hak yang dimiliki oleh anak agar anak tersebut bisa berkembang sesuai dengan umur.
Selain orangtua dan masyarakat, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat berpartisipasi; bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak; bebas berserikat dan berkumpul; bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; serta memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
Pemerintah dan lembaga negara lainnya pun masih berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

D.  Tujuan Dan Sasaran Perlindungan Anak
Dalam Pasal 3 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perrlindungan Anak, menyatakan bahwa Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak, agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta  mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Tujuan umum perlindungan anak adalah untuk menjamin pemenuhan hak-hak kelangsungan hidup, tumbuh kembang,  perlindungan, dan partisipasi anak. Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai adalah :
a.    Menjamin perlindungan khusus bagi anak dari berbagai tindak perlakuan tidak patut, termaksud kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi.
b.    Menjamin perlindungan hukum baik dalam bentuk pembelaan pendampingan bagi anak yang berhadapan dengan hukum agar hak-haknya tetap terpenuhi, dan terlindungi dari tindak diskriminasi.
c.    Mengakui dan menjamin hak anak dari komunitas minoritas untuk menikmati budaya, menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agamanya.
Adapun sasaran yang ingin dicapai untuk perlindungan anak adalah terlaksananya sosialisasi anak ditingkat Nasional, Provinsi, dan kabupaten/kota, baik dikalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, baik keluarga, masyarakat, maupun dunia usaha. Terjaminnya hak-hak anak dalam situasi darurat meliputi pengungsian dari konflik bersenjata, serta dalam kondisi tereksploitasi ekonomi maupun non ekonomi. Tercapainya perlindung hukum yang ramah anak baik pada elemen pemerintah (polisi dan jaksa), yudikatif (hakim), pengacara dan lembaga perlindungan hukum non-pemerintah. Terselenggarannya upaya-upaya pelaksanaan kesejahteraan bagi anak, baik pengawasan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi, perlindungan dari eksploitasi media massa dan labelitas, re-integrasi, penyediaan sarana dan prasarana kecacatan, penjaminan keselamatan terhadap pihak eksploiter, dan pemudahan aksebilitas terhadap informasi hukum dan hak-hak anak. Perlunya kepemilikan akte kelahiran bagi anak, tersedianya wadah bagi anak-anak dari komunitas adat terpencil dan kelompok minoritas untuk menikmati budaya, menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agama.

E.  Standarisasi Perlindungan Hak Anak
Perlindungan  anak  berarti  perlindungan  dari kekerasan,  pelecehan  dan  eksploitasi.  Artinya    perlindungan  anak  ditujukan   bagi penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak setiap anak untuk tidak menjadi korban dari  situasi yang merugikan (membahayakan) dirinya. Hak atas perlindungan melengkapi hak yang  lain lain seperti  memastikan  anak-anak menerima apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang.
Guna mewujudkan perlindungan anak yang memadai, diperlukan intervensi faktor-faktor pembentukan kualitas hidup yang setara dengan perkembangan peradaban manusia pada zamannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa proses menuju tercapainya tingkat perlindungan anak akan ditentukan pada kurun waktu tersebut. Dalam hal ini setiap zaman memiliki standar perlindungan anak tersendiri, yang disepakati secara luas dengan mengacu pada nilai-nilai yang universal.
Analogisnya dapat dilihat dalam iklim kehidupan bangsa Indonesia, yang menunjukkan bahwa pembangunan nasional yang panjang, yang telah berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat sebagai bagian dari proes peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya dan akan berkaitan dengan pemberian perlindungan anak yang meningkat pula.
Perwujudan perlindungan anak yang berkualitas sebaiknya mulai dipersiapkan sejak dini, bahkan kalau mungkin sejak anak dalam kandungan. Insan kecil terebut membutuhkan perlindungan dari orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmai, rohani maupun sosial kelaknya, sehingga kelak akan menjadi pewaris masa depan yang mempunyai kualitas.
Oleh karena itu, apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan keejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan serta peran sertanya dalam kehidupan selanjutnya, maka perlindungan anak yang baik mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Para partisipan harus mempuyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak.
  2. Perlindungan anak harus dilaksanakan bersama antara setiap warga negara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama, kepentingan Nasional untuk mencapai aspirasi bangas Indonesia.
  3. Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat antar para partisipan yang bersangkutan.
  4. Dalam rangka membuat kebijakan dan rencana kerja yang dapat dilaksanakan perlu diusahakan inventariasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak, dan harus bersifat perspektif (masa depan).
  5. Dalam membuat ketentuan-ketentuan yang menyinggung dan mengatur perlindungan anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita harus mengutamakan perseptif yang diatur dan bukan yang mengatur.
  6. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan atau dinyatakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
  7. Dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri, dan kemudian kelak menjadi orang tua yang berpartisipasi positif dan aktif dalam kegiatan perlindungan anak yang merupakan hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat.
  8. Perlindungan anak yang baik harus mempunyai dasar filosofis, etis dan yuridis.
  9. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi pada yang bersangkutan oleh karena adanya penimbulan penderitaan, kerugian oleh partisipan tertentu.
  10. Perlindungan anak harus didasarkan antara lain atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya.

F.   Penyelenggaraan Perlindungan Hak Anak
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang telah dibebankan oleh hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif. Undang–undang perlindungan anak juga harus meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas non-diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Adapun penyelenggaraan perlindungan hak anak dalam berbagai pandangan, yaitu sebagai berikut :
1)   Penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama :
Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya, Semua pihak wajib menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya serta memberikan pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
2)   Penyelenggaraan perlindungan dalam hal kesehatan :
Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan secara cuma-cuma bagi orang yang tidak mampu, misalnya dengan mengadakan fasilitas kesehatan seperti dalam posyandu, puskesmas. Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan yang merusak kesehatan serta pengambilan organ tubuh.
3)   Penyelenggaraan perlindungan dalam hal pendidikan :
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus, seperti pemberian beasiswa, kemudahan mendapatkan buku seperti program pemerintah saat ini BSE (buku sekolah elektronik). Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil seperti dana BOS. Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan.
4)   Penyelenggaraan perlindungan dalam hal sosial :
Pemerintah dan lembaga masyarakat wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, pengawasan dilakukan oleh Menteri Sosial. Dalam hal anak terlantar karena suatu karena orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga, keluarga, atau pejabat yang  berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar, sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.
5)   Penyelenggaraan perlindungan dalam hal perlindungan khusus :
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

G. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sebagai Lembaga Perlindungan Anak
Dalam rangka menjamin penyelenggaraan perlindungan anak yang efektif, maka pemerintah berinisiatif untuk membentuk suatu lembaga perlindungan anak yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibentuk berdasarkan amanat UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut disahkan oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22 September 2002 dan ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, pada tanggal 20 Oktober 2002. Setahun kemudian sesuai ketentuan Pasal 75 dari undang-undang tersebut, Presiden menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Dalam Pasal 74 UU Perlindungan Anak dirumuskan “Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, maka dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen”.
Selanjutnya dalam Pasal 76 UU Perlindungan Anak, dijelaskan tugas pokok KPAI yang berbunyi sebagai berikut :
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, mandat KPAI adalah mengawal dan mengawasi pelaksanaan perlindungan anak yang dilakukan oleh para pemangku kewajiban perlindungan anak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 yakni : “Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua” di semua strata, baik pusat maupun daerah, dalam ranah domestik maupun publik, yang meliputi pemenuhan hak-hak dasar dan perlindungan khusus. KPAI bukan institusi teknis yang menyelenggarakan perlindungan anak.
KPAI memandang perlu dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota sebagai upaya untuk mengawal dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak di daerah. KPAID bukan merupakan perwakilan KPAI dalam arti hierarkis-struktural, melainkan lebih bersifat koordinatif, konsultatif dan fungsional. Keberadaan KPAID sejalan dengan era otonomi daerah dimana pembangunan perlindungan anak menjadi kewajiban dan tanggungjawab pemerintah daerah.
Dalam menjalankan visi dan misinya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memiliki beberapa strategi khusus, yaitu :
(1) Penggunaan System Building Approach (SBA) sebagai basis pelaksanaan tugas dan fungsi, yang meliputi tiga komponen sistem : a) sistem norma dan kebijakan, meliputi aturan dalam perundang-undangan maupun kebijakan turunannya baik di tingkat pusat maupun daerah; b) struktur dan pelayanan, meliputi bagaimana struktur organisasi, kelembagaan dan tata-laksananya, siapa saja aparatur yang bertanggung jawab dan bagaimana kapasitasnya; c) proses, meliputi bagaimana prosedur, mekanisme kordinasi, dan SOP-nya;
(2) Penguatan kapasitas kelembagaan dan SDM yang profesional, kredibel dan terstruktur, sehingga diharapkan tugas dan fungsi KPAI dapat berlangsung dengan efektif dan efisien;
(3) Penguatan kesadaran masyarakat untuk mendorong tersedianya sarana dan prasarana pendukung yang memberikan kemudahan akses terhadap penyelenggaraan perlindungan anak di semua sektor;
(4) Perspektif dan pendekatan yang holistik, komprehensif dan bukan parsial dalam merespon masalah atau kasus, karena masalah atau kasus anak tidak pernah berdiri sendiri namun selalu beririsan dengan berbagai aspek kehidupan yang kompleks;
(5) Diseminasi konsep Indonesia Ramah Anak (IRA) pada berbagai pemangku kewajiban dan penyelenggara perlindungan anak yang meniscayakan adanya child right mainstreaming dalam segala aspek dan level pembangunan secara berkelanjutan;
(6) Penguatan mekanisme sistem rujukan (reveral system) dalam penerimaan pengaduan. Hal ini dipandang penting untuk memantapkan proses penanganan masalah perlindungan anak yang bersumber dari pengaduan masyarakat.
(7) Kemitraan strategis dengan pemerintah dan civil society dalam setiap bidang kerja dan isu agar setiap permasalahan bisa mendapatkan rekomendasi dan solusinya yang tepat, serta terpantau perkembangannya.

H. Pembelajaran Berbasis Pemenuhan Hak Anak
a. Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar anak. Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika proses pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut internalisasi nilai dan sikap menjadi efektif. Dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu utama psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan mencapai hasil lebih tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala ancaman, melibatkan emosi siswa dan membangun hubungan yang humanistik.
b. Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur, toleransi, saling menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan sebagainya. Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah masyarakat. Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau remaja di sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi secara sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain. Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut. Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan formal di sekolah.
c. Demokratisasi pendidikan

Inti dari demokrasi adalah kebebasan, persamaan hak, keadilan musyawarah dan tanggung jawab. Pada mulanya demokrasi merupakan term-politik. Pendidikan yang demokratis menerapkan sistem andragogi. Sistem ini menuntut keaktifan siswa untuk berbuat (learning by doing). Di sini murid diberi umpan dan kail, kemudian dibimbing untuk mencari ikan sendiri. Jadi bukan langsung diberi ikan tanpa proses pemancingan. Proses pendidikan yang menekankan pentingnya nilai-nilai kebebasan dan demokrasi inilah yang menjadikan pendidikan bernuansa humanis. Perlakuannya menggunakan pendekatan humanistik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar