A. Kedudukan
Anak Dalam Berbagai Pandangan
Kedudukan anak
dalam keluarga khususnya yang menyangkut identitas anak sudah jelas diatur
didalam UU No. 23 Tahun 2002 pasal 27 (1,2,3,4) yang menyatakan bahwa identitas
anak harus diberikan sejak kelahiranya dalam bentuk akta kelahiran. Dalam
pembuatan akte kelahiran itu harus ada saksinya yaitu orang yang menyaksikan
atau membantu proses kelahirannya. Sedangkan untuk anak yang proses
kelahirannya tidak diketahui dan keberadaannya tidak diketahui (anak yang
dibuang) maka dalam pembuatan akta kelahiran itu atas nama orang yang
menemukan.
Kedudukan anak bagi orang tuanya dalam pandangan
Islam, yaitu :
1. Anak
sebagai Rahmat
Salah satu Rahmat Allah bagi orang tua adalah rahmat
di Karuniai anak. Sesuai Firman Allah SWT : "...dan Kami kembalikan
keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka sebagai suatu
Rahmat dari sisi Kami" (QS. Al-Anbiya : 84)
2. Anak
sebagai Amanah
Amanah berarti suatu yang harus di pertanggung
jawabkan nanti dihadapan Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW "..Suami sebagai
pimpinan didalam rumah tangganya dan dia bertanggung jawab dalam rumah
tangganya..." (HR. Bukhori Muslim). Karena anak sebagai amanah bagi orang
tuanya, maka kewajiban orang tua untuk memelihara, membimbing dan mendidik anak
agar menjadi anak yang sholeh.
3. Anak
sebagai Ujian
Hidup ini adalah ujian. Segala apa yg dianugerahkan
Allah kepada kita merupakan ujian-Nya. Termasuk harta dan anak sesuai Firman
Allah SWT : "Dan ketahuilah, harta-hartamu dan anak-anakmu itu adalah
sebagai ujian (fitnah)" (QS. Al Anfal : 28)
4. Anak
sebagai Media Beramal
Semua jerih payah orang tua dalam bekerja keras
untuk nafkah anak adalah sedekah. Rasulullah SAW bersabda : " Apabila
orang tua memberi nafkah terhadap keluarganya dan ia mengharapkan pahala
karenanya, maka nafkah itu menjadi sedekah baginya" (HR. Bukhori Muslim)
5. Anak sebagai Amal Jariyah
Anak dapat memberikan pertolongan kepada orang
tuanya ketika masih hidup dan setelah mati, bila anak itu adalah anak yang
sholeh. Disebutkan dalam hadist Nabi SAW : "Apabila manusia mati, maka
putuslah semua amalnya kecuali 3 perkara : sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak yang sholeh yang mendoakan orang tuanya" (HR. Bukhori
Muslim)
Dalam masyarakat, hukum adat berbeda dari masyarakat
yang modern, dimana keluarga atau rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan
tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat,
anak asuh, anak akuan dan sebagainya. Kesemua anak–nak itu ada kaitannya dengan
hak dan kewajiban orang tua yang mengurus atau memeliharanya, begitupula
sebaliknya. Kedudukan anak–anak tersebut pengaturannya juga berlatar belakang
pada susunan masyarakat adat yang bersangkutan dan bentuk perkawinan orang tua
yang berlaku.
Masalah kedudukan anak dalam hukum juga diatur dalam UU No.1 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, yaitu pada BAB IX pasal 42 sampai dengan
pasal 47. Pasal 42 mengatakan, anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan di
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sementara perkawinan yang sah
itu, adalah perkawinan yang memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 2
Undang-undang Pokok Perkawinan. Menurut pasal itu, perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,
serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedudukan anak dalam pembelajaran ialah sebagai
seorang peserta didik. Dimana peserta didik harus dapat menerapkan sikap hormat
terhadap pendidiknya. Ia harus menempatkan dirinya lebih sederhana ketimbang
pendidiknya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang anak didik
untuk selalu berlaku sopan terhadap pendidiknya.
B. Pemenuhan Perlindungan Hak Anak
Perlindungan hak anak merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari HAM. Menghormati, menegakkan dan mengimplementasikan hak asasi
anak sejalan dengan penegakan dan implementasi HAM itu sendiri. Namun
kenyataannya hak asasi anak masih berada pada posisi yang terpinggirkan dan
dianggap sebagai masalah sekunder dalam penegakan HAM. Akibat kurangnya perlindungan
terhadap anak, maka mereka sering di eksploitasi untuk mendatangkan keuntungan.
Meskipun perbudakan telah dinyatakan sebagai tindakan melanggar hukum, namun
banyak keadaan membuat kehidupan anak yang bekerja mendekati perbudakan. Hal
ini mencakup eksploitasi buruh anak, penjualan anak, pelacuran yang dipaksa,
serta penjualan narkotika dengan penelantaran anak-anak.
Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai
seperangkat peraturan perundang-undangan untuk menjamin hak-hak anak untuk
mengurangi dampak bekerja dari anak seperti UUD 1945, ratifikasi Konvensi ILO
No. 138 menjadi UU No. 20/1999 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan
Bekerja, ratifikasi Konvensi ILO 182 menjadi UU No. 1/2000 tentang Pelanggaran
dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, UU
No.23/2002 tentang Perlindungan Anak UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Walaupun ada seperangkat peraturan
perundang-undangan yang melindungi pekerja anak, tetapi kualitas
permasalahannya dari tahun ke tahun mengalami perkembangan kompleksitas menuju
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk eksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, moral, sosial dan intelektual anak. Jenis pekerjaan
terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan, anak yang
diperdagangkan, anak bekerja di pertambangan, anak jermal dan lain-lain.
Dari
segi hak anak, yang sangat memprihatinkan adalah anak-anak yang bekerja umumnya
berada dalam posisi rentan untuk diperlakukan salah, termasuk eksploitasi oleh
orang lain, khususnya oleh orang dewasa atau suatu sistem yang memperoleh
keuntungan dari tenaga anak. Berbagai studi
dan pengamatan menunjukkan bahwa pekerja anak umumnya sangat rentan terhadap eksploitasi ekonomi.
dan pengamatan menunjukkan bahwa pekerja anak umumnya sangat rentan terhadap eksploitasi ekonomi.
Jika
mengacu kepada konvensi Internasional tentang perlindungan hak anak, ada
beberapa aspek yang menjadi tanggungjawab masyarakat dan negara dalam memenuhi
hak-hak anak, antara lain :
1.) Hak
Beragama
Perlindungan
hak agama bagi anak menurut Konvensi Hak Anak (KHA) tidak menjadi bagian
tersendiri tapi bagian dari hak sipil yaitu hak untuk bebas berpikir, berhati
nurani, dan beragama. Dalam UU nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 42 ayat (1) ditegaskan bahwa, anak mendapat perlindungan untuk beribadah
menurut agamanya. Kemudian dalam ayat (2) dijelaskan bahwa agama yang peluk
anak mengikuti orang tuanya sebelum ia dapat menentukan pilihannya. Yang
bertanggung jawab terhadap hak tersebut dijelaskan dalam pasal 43 (1) adalah
negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua, wali dan lembaga sosial.
2.) Hak
Sipil
Dalam
Konvensi Hak Anak (KHA) disebut dengan hak-hak sipil dan kemerdekaan bagi anak
erat kaitannya dengan hak-hak sipil dan kemerdekaan seperti : (1) hak atas
nama, kebangsaan, dan mengetahui dan diasuh oleh orangtuanya; (2) hak memiliki
kewarganegaraan; (3) hak mengeluarkan pendapat; (4) hak untuk bebas berpikir,
berhati nurani, dan beragama; (5) hak untuk bebas berkumpul. (6) hak untuk
tidak diganggu kehidupan pribadinya; (7) hak memperoleh informasi; dan (8) hak
untuk tidak menerima siksaan, kekejaman, perlakuan, dan hukuman tidak
manusiawi.
3.) Hak
Kesehatan
Adapun
yang termasuk hak kesejahteraan kesehatan menurut Konvensi Hak Anak Konvensi
Hak Anak (KHA) adalah : (1) hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; (2)
hak untuk tidak diganggu kehidupan pribadinya; (3) hak pelayanan, perawatan
bagi anak yang orangtuanya bekerja; (4) hak anak yang cacat mental dan fisik;
(5) hak menikmati status kesehatan tertinggi dan memperoleh sarana perawatan
penyakit dan pemulihan kesehatan; dan (6) hak atas hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental dan spiritual, moral dan sosial anak.
4.) Hak
Pendidikan
Dalam
Konvensi Hak Anak, Konvensi Hak Anak (KHA) disebut dengan hak pendidikan.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 48, 51, 52 dan
54 disebutkan bahwa penyelanggaraan perlindungan anak di bidang pendidikan
dilaksanakan sebagai berikut : (1) semua anak wajib belajar 9 (sembilan) tahun;
(2) memberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang cacat
fisik dan/atau mental; (3) memberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk
memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan; dan (4)
melindungi anak dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola
sekolah atau teman-temannya ketika berada dalam lingkungan sekolah.
Sedangkan
yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan menurut UU Nomor 23
Tahun 2002 Pasal 48, 49 dan 53 adalah orang tua, masyarakat dan pemerintah.
5.) Hak
Sosial dan Ekonomi
Dalam
Konvensi Hak Anak (KHA) hak inidisebut hak perlindungan khusus. Menjaga harta
anak dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari hidup terlantar. Dalam
perspektif hukum Islam, hak sosial dan ekonomi dapat disejajarkan dengan
istilah hifzh al-maal yang dalam praktiknya, perlindungan hak
dilakukan melalui : (1) menyediakan baitul mal dan zakat. Islam telah mensyari’atkan
untuk memelihara baitul mal (kas negara) bagi zakat yang diurus oleh negara
Islam dan membagikan zakat itu kepada orang-orang yang berhak menerimanya
termasuk anak-anak yang tidak mampu; (2) membantu keluarga anak miskin. Islam
menganggap pemberian bantuan kepada orang lapar dan miskin pada sulit dan
susah; dan (3) memberikan jaminan keluarga. Islam telah memberlakukan undang-undang
jaminan keluarga bagi setiap anak yang lahir dari seorang muslim, baik itu anak
seorang pejabat pemerintah, pegawai, pekerja, maupun rakyat biasa.
C. Perlindungan Hak Anak
Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehinga negara
berkewajiban untuk memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi. Selain pemerintah, masyarakat, keluarga, dan khususnya orang tua
juga turut berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak. Untuk itu pemerintah mengeluarkan atau mengesahkan
undang-undang tentang perlindungan anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 dengan
tujuan perlindungan terhadap anak.
Pemerintah Indonesia dalam usahanya untuk menjamin dan mewujudkan
perlindungan dan kesejahteraan anak adalah melalui pembentukan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang ini dijelaskan
pula tentang definisi perlindungan anak didalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
(2) yang berbunyi “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungai anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada prinsipnya asas-asas yang digunakan dalam UU No. 23 tahun 2002 ini
sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam konvensi hak-hak
anak. Asas-asas ini terdapat dalam pasal 2 UU No. 23 tahun 2003, yaitu :
- Asas non diskriminasi
Asas non diskriminasi ialah setiap anak harus dilindungi dari segala
perlakuan diskriminasi baik dari suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi
fisik dan/atau mental.
- Asas kepentingan yang terbaik
bagi anak
Asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan
yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan
legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan yang utama.
- Asas hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan
Asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi
yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua.
- Asas penghargaan terhadap hak
anak
Asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak
anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan
keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Selain dari Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, tentang
Perlindungan Anak juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dalam Bab III Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia
pada Bagian Kesepuluh, yang mengatur mengenai hak anak. Bagian yang mempunyai
judul Hak Anak ini memberikan ketentuan pengaturan yang dituangkan ke dalam 15
(lima belas) pasal, dimana dalam Pasal 52 ayat (2) disebutkan bahwa, “Hak anak
adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan
dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan”.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjamin kesejahteraan pada setiap
warga negaranya salah satunya adalah dengan memberikan perlindungan terhadap
hak anak yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Orangtua
dalam hal ini mempunyai peran yang penting atas kelangsungan hak anak. Dalam
Pasal 26 ayat 1 UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh,
memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b. Menumbuhkembangkan
anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c. Mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak
d. Memberikan
pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Artinya bahwa
orangtua harus memenuhi hak-hak yang dimiliki oleh anak agar anak tersebut bisa
berkembang sesuai dengan umur.
Selain
orangtua dan masyarakat, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk
menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga
maupun di luar lembaga. Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat berpartisipasi;
bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan
perkembangan anak; bebas berserikat dan berkumpul; bebas beristirahat, bermain,
berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; serta memperoleh sarana
bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
Pemerintah
dan lembaga negara lainnya pun masih berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan,
anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat,
dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
D. Tujuan Dan Sasaran Perlindungan Anak
Dalam Pasal 3 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perrlindungan Anak, menyatakan
bahwa Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak,
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Tujuan umum perlindungan anak
adalah untuk menjamin pemenuhan hak-hak kelangsungan hidup, tumbuh
kembang, perlindungan, dan partisipasi anak. Adapun tujuan khusus yang
hendak dicapai adalah :
a.
Menjamin
perlindungan khusus bagi anak dari berbagai tindak perlakuan tidak patut,
termaksud kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi.
b.
Menjamin
perlindungan hukum baik dalam bentuk pembelaan pendampingan bagi anak yang
berhadapan dengan hukum agar hak-haknya tetap terpenuhi, dan terlindungi dari
tindak diskriminasi.
c.
Mengakui dan
menjamin hak anak dari komunitas minoritas untuk menikmati budaya, menggunakan
bahasa, dan melaksanakan ajaran agamanya.
Adapun sasaran yang ingin dicapai
untuk perlindungan anak adalah terlaksananya sosialisasi anak ditingkat Nasional, Provinsi, dan kabupaten/kota, baik dikalangan eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif, baik keluarga, masyarakat, maupun dunia usaha. Terjaminnya hak-hak anak dalam situasi darurat meliputi pengungsian dari konflik bersenjata,
serta dalam kondisi tereksploitasi ekonomi maupun non ekonomi. Tercapainya perlindung hukum yang ramah anak baik pada elemen pemerintah
(polisi dan jaksa), yudikatif
(hakim), pengacara dan lembaga perlindungan hukum non-pemerintah. Terselenggarannya upaya-upaya pelaksanaan kesejahteraan bagi
anak, baik pengawasan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi, perlindungan dari
eksploitasi media massa dan labelitas, re-integrasi, penyediaan sarana dan prasarana kecacatan, penjaminan keselamatan terhadap pihak eksploiter,
dan pemudahan aksebilitas terhadap informasi hukum dan hak-hak anak. Perlunya
kepemilikan akte kelahiran bagi anak, tersedianya wadah bagi anak-anak dari
komunitas adat terpencil dan kelompok minoritas untuk menikmati budaya,
menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agama.
E.
Standarisasi
Perlindungan Hak Anak
Perlindungan
anak berarti perlindungan dari kekerasan,
pelecehan dan eksploitasi. Artinya
perlindungan anak ditujukan bagi penghormatan,
perlindungan, dan pemajuan hak setiap anak untuk tidak menjadi korban
dari situasi yang merugikan (membahayakan) dirinya. Hak atas perlindungan
melengkapi hak yang lain lain seperti memastikan anak-anak
menerima apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, bertumbuh dan
berkembang.
Guna mewujudkan
perlindungan anak yang memadai, diperlukan intervensi faktor-faktor pembentukan
kualitas hidup yang setara dengan perkembangan peradaban manusia pada zamannya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa proses menuju tercapainya tingkat perlindungan
anak akan ditentukan pada kurun waktu tersebut. Dalam hal ini setiap zaman
memiliki standar perlindungan anak tersendiri, yang disepakati secara luas dengan
mengacu pada nilai-nilai yang universal.
Analogisnya dapat
dilihat dalam iklim kehidupan bangsa Indonesia, yang menunjukkan bahwa
pembangunan nasional yang panjang, yang telah berhasil meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan rakyat sebagai bagian dari proes peningkatan kualitas manusia
Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya dan akan berkaitan
dengan pemberian perlindungan anak yang meningkat pula.
Perwujudan perlindungan
anak yang berkualitas sebaiknya mulai dipersiapkan sejak dini, bahkan kalau
mungkin sejak anak dalam kandungan. Insan kecil terebut membutuhkan
perlindungan dari orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar
baik jasmai, rohani maupun sosial kelaknya, sehingga kelak akan menjadi pewaris
masa depan yang mempunyai kualitas.
Oleh karena itu,
apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan keejahteraan yang memadai
terutama terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan
perlindungan serta peran sertanya dalam kehidupan selanjutnya, maka
perlindungan anak yang baik mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
- Para
partisipan harus mempuyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan
dengan masalah perlindungan anak.
- Perlindungan
anak harus dilaksanakan bersama antara setiap warga negara, anggota
masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi
kepentingan bersama, kepentingan Nasional untuk mencapai aspirasi bangas
Indonesia.
- Kerjasama
dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak
yang rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat antar para partisipan yang
bersangkutan.
- Dalam
rangka membuat kebijakan dan rencana kerja yang dapat dilaksanakan perlu
diusahakan inventariasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung
kegiatan perlindungan anak, dan harus bersifat perspektif (masa depan).
- Dalam
membuat ketentuan-ketentuan yang menyinggung dan mengatur perlindungan
anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita harus mengutamakan
perseptif yang diatur dan bukan yang mengatur.
- Perlindungan
anak harus tercermin dan diwujudkan atau dinyatakan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
- Dalam
pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, pihak anak harus diberikan
kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri, dan
kemudian kelak menjadi orang tua yang berpartisipasi positif dan aktif
dalam kegiatan perlindungan anak yang merupakan hak dan kewajiban setiap
anggota masyarakat.
- Perlindungan
anak yang baik harus mempunyai dasar filosofis, etis dan yuridis.
- Pelaksanaan
kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi
pada yang bersangkutan oleh karena adanya penimbulan penderitaan, kerugian
oleh partisipan tertentu.
- Perlindungan
anak harus didasarkan antara lain atas pengembangan hak dan kewajiban
asasinya.
F.
Penyelenggaraan
Perlindungan Hak Anak
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan
terhadap anak. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk
menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang telah
dibebankan oleh hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan
anak, negara dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya secara optimal dan terarah.
Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni
sejak dari janin dalam kandungan sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal
ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan
komprehensif. Undang–undang perlindungan anak juga harus meletakkan kewajiban
memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas non-diskriminatif,
kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Adapun penyelenggaraan perlindungan hak anak dalam berbagai pandangan,
yaitu sebagai berikut :
1)
Penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama :
Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya, Semua
pihak wajib menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya serta memberikan
pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
2)
Penyelenggaraan perlindungan dalam hal kesehatan :
Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan
secara cuma-cuma bagi orang yang tidak mampu, misalnya dengan mengadakan
fasilitas kesehatan seperti dalam posyandu, puskesmas. Orang tua dan keluarga
bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam
kandungan. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak
dari perbuatan yang merusak kesehatan serta pengambilan organ tubuh.
3)
Penyelenggaraan perlindungan dalam hal pendidikan :
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan)
tahun untuk semua anak. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan. Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan
kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan
pendidikan luar biasa. Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan
aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus, seperti pemberian beasiswa,
kemudahan mendapatkan buku seperti program pemerintah saat ini BSE (buku
sekolah elektronik). Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya
pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari
keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di
daerah terpencil seperti dana BOS. Anak di dalam dan di lingkungan sekolah
wajib dilindungi dari tindakan kekerasan.
4)
Penyelenggaraan perlindungan dalam hal sosial :
Pemerintah dan lembaga masyarakat wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Untuk
menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah
dan lembaga masyarakat dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang
terkait, pengawasan dilakukan oleh Menteri Sosial. Dalam hal anak terlantar
karena suatu karena orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga,
keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke
pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar, sekaligus menetapkan
tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang
bersangkutan.
5)
Penyelenggaraan perlindungan dalam hal perlindungan
khusus :
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan,
anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat,
dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
G. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sebagai
Lembaga Perlindungan Anak
Dalam rangka menjamin penyelenggaraan perlindungan anak yang efektif, maka
pemerintah berinisiatif untuk membentuk suatu lembaga perlindungan anak yaitu
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) dibentuk berdasarkan amanat UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Undang-Undang tersebut disahkan oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22
September 2002 dan ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, pada tanggal
20 Oktober 2002. Setahun kemudian sesuai ketentuan Pasal 75 dari undang-undang
tersebut, Presiden menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan
Anak Indonesia.
Dalam Pasal 74 UU Perlindungan Anak dirumuskan “Dalam rangka meningkatkan
efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, maka dibentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen”.
Selanjutnya dalam Pasal 76 UU Perlindungan Anak, dijelaskan tugas pokok
KPAI yang berbunyi sebagai berikut :
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi,
menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden
dalam rangka perlindungan anak.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, mandat KPAI adalah mengawal dan
mengawasi pelaksanaan perlindungan anak yang dilakukan oleh para pemangku
kewajiban perlindungan anak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 yakni :
“Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua” di semua strata, baik
pusat maupun daerah, dalam ranah domestik maupun publik, yang meliputi
pemenuhan hak-hak dasar dan perlindungan khusus. KPAI bukan institusi teknis
yang menyelenggarakan perlindungan anak.
KPAI memandang perlu dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah
(KPAID) di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota sebagai upaya untuk mengawal
dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak di daerah. KPAID bukan
merupakan perwakilan KPAI dalam arti hierarkis-struktural, melainkan lebih
bersifat koordinatif, konsultatif dan fungsional. Keberadaan KPAID sejalan
dengan era otonomi daerah dimana pembangunan perlindungan anak menjadi
kewajiban dan tanggungjawab pemerintah daerah.
Dalam menjalankan visi dan
misinya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memiliki beberapa strategi
khusus, yaitu :
(1) Penggunaan System Building Approach (SBA) sebagai basis pelaksanaan
tugas dan fungsi, yang meliputi tiga komponen sistem : a) sistem norma dan
kebijakan, meliputi aturan dalam perundang-undangan maupun kebijakan turunannya
baik di tingkat pusat maupun daerah; b) struktur dan pelayanan, meliputi
bagaimana struktur organisasi, kelembagaan dan tata-laksananya, siapa saja
aparatur yang bertanggung jawab dan bagaimana kapasitasnya; c) proses, meliputi
bagaimana prosedur, mekanisme kordinasi, dan SOP-nya;
(2) Penguatan kapasitas kelembagaan dan SDM yang profesional, kredibel dan
terstruktur, sehingga diharapkan tugas dan fungsi KPAI dapat berlangsung dengan
efektif dan efisien;
(3) Penguatan kesadaran masyarakat untuk mendorong tersedianya sarana dan
prasarana pendukung yang memberikan kemudahan akses terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak di semua sektor;
(4) Perspektif dan pendekatan yang holistik, komprehensif dan bukan parsial
dalam merespon masalah atau kasus, karena masalah atau kasus anak tidak pernah
berdiri sendiri namun selalu beririsan dengan berbagai aspek kehidupan yang
kompleks;
(5) Diseminasi konsep Indonesia Ramah Anak (IRA) pada berbagai pemangku
kewajiban dan penyelenggara perlindungan anak yang meniscayakan adanya child
right mainstreaming dalam segala aspek dan level pembangunan secara
berkelanjutan;
(6) Penguatan mekanisme sistem rujukan (reveral system) dalam penerimaan
pengaduan. Hal ini dipandang penting untuk memantapkan proses penanganan
masalah perlindungan anak yang bersumber dari pengaduan masyarakat.
(7) Kemitraan strategis dengan pemerintah dan civil society dalam setiap
bidang kerja dan isu agar setiap permasalahan bisa mendapatkan rekomendasi dan
solusinya yang tepat, serta terpantau perkembangannya.
H. Pembelajaran Berbasis Pemenuhan Hak Anak
a. Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar anak.
Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika proses
pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut internalisasi
nilai dan sikap menjadi efektif. Dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa
lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu utama psikologis yang
mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan mencapai hasil lebih
tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala ancaman, melibatkan emosi siswa
dan membangun hubungan yang humanistik.
b. Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur, toleransi, saling
menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan sebagainya.
Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari interaksi
sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah masyarakat.
Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau remaja di
sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi secara
sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari
keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan
kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain.
Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut.
Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan
formal di sekolah.
c. Demokratisasi pendidikan
Inti dari demokrasi adalah kebebasan, persamaan hak, keadilan musyawarah
dan tanggung jawab. Pada mulanya demokrasi merupakan term-politik. Pendidikan
yang demokratis menerapkan sistem andragogi. Sistem ini menuntut keaktifan siswa
untuk berbuat (learning by doing).
Di sini murid diberi umpan dan kail, kemudian dibimbing untuk mencari ikan
sendiri. Jadi bukan langsung diberi ikan tanpa proses pemancingan. Proses
pendidikan yang menekankan pentingnya nilai-nilai kebebasan dan demokrasi
inilah yang menjadikan pendidikan bernuansa humanis. Perlakuannya menggunakan
pendekatan humanistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar