2.1. Definisi Gender
Kata gender berasal dari bahasa
Inggris gender, dalam kamus bahasa inggris-indonesia berarti jenis kelamin. Sedangkan dalam Webster’s
New World Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Genderberasal darikata Genyang berartiperbedaan peran, tugas, fungsi, dan tanggung-jawab
serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena dibentuk oleh tata nilai
sosial budaya (konstruksi sosial) yang dapat diubah dan berubah sesuai
kebutuhan atau perubahan zaman (menurut waktu dan ruang).
Mansoer Fakih berpendapat bahwa gender adalah sifatataukarakter
yang telah tertanam dalam diri manusia (laki-laki dan perempuan) yang
dikonstruksikan secara sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki
dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial
dan budaya masyarakat. Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab
keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah
sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
Gender bukanlah kodrat dan ketentuan
Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan bagaimana seharusnya laki-laki
dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur
oleh ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata lain,
gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan laki-laki
sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Gender ialah:
a. Konstruksiataubentuk sosial
b. Tidak dimiliki sejak lahir
c. Bisa dibentuk atau bisa
berubah
d.Dipengaruhi oleh:
o Tempat
o Waktu atau zaman
o Suku atau ras atau bangsa
o Budaya
o Status
sosial
o Pemahaman
agama
o Ideologi
negara
e. Karena itu Gender :
o Bukan kodrat
o Dibuat
manusia
o Bisa
dipertukarkan
o Relatif
Gender pada mulanya adalah suatu klasifikasi gramatikal untuk benda-benda
menurut jenis kelaminnya. Kesetaraan gender sering dituntut secara tidak
proposional. Semua kondisi tersebut tambah meramai masalah problem gender.
Tentu saja keadilan dan kesetaraan gender tidak harus berarti keramaian dalam
semua hal. Perlu kearifan yang lebih objektif dan realistis untuk mengembangkan
konsep atau mengaktualisasikan konsep peran-peran gender yang lebih
proporsional dan adil.
2.2.Gender Dalam Perspektif Islam
Sejarah telah menginformasikan bahwa sebelum
diturunkannya kitab suci Al-Qur’an,
berbagai peradaban umat manusia telah
berkembang sedemikian rupa, seperti halnya peradaban bangsa Yunani,
Romawi, India, Cina dan yang lainnya. Dan juga sebelum datangnya agama Islam,
telah datang terlebih dahulu berbagai agama, seperti agama Zoroaster, Buddha,
dan yang paling belakangan adalah agama Yahudi dan Nasrani.
Pada puncak peradaban Yunani, perempuan tidak mendapat penghargaan yang
adil, karena mereka dianggap alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Kaum
laki-laki diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera
tersebut, dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat
dewasa ini di Eropa adalah merupakan bukti yang menyatakan pandangan itu.
Peradaban Romawi juga tidak begitu berbeda
dengan Yunani, menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini
mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Peristiwa
tragis ini berlangsung sampai pada abad V Masehi. Segala hasil usaha perempuan,
menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Konstantin (abad XV), terjadi sedikit perubahan dengan
diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan, dengan catatan bahwa
setiap transaksi harus disetujui terlebih dahulu oleh keluarga (suamiatauayah).
Peradaban Hindu dan Cina, juga tidak lebih baik. Hak hidup bagi seorang perempuan
yang telah bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri terkadang
harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru
berakhir pada abad XVII Masehi.
Sepanjang abad pertengahan nasib perempuan tetap sangat memperihatinkan,
sampai dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggris masih mengakui hak suami
untuk menjual istrinya, bahkan sampai dengan tahun 1882 perempuan Inggris belum
lagi mempunyai hak kepemilikan harta benda secara penuh, termasuk hak menuntut
ke pengadilan.
Untuk dapat mengetahui keberadaan dan peran yang dimainkan Islam,
diperlukan pemahaman mendalam terhadap stratifikasi sosial budaya bangsa Arab
menjelang dan ketika Al-Qur’an diturunkan. Misi Al-Qur’an hanya dapat dipahami
secara utuh setelah memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan boleh
jadi, sejumlah ayat dalam Al-Qur’an (termasuk ayat-ayat yang menjelaskan
gender), dapat disalah pahami tanpa memahami latar belakang sosial budaya
masyarakat Arab.
Jazirah Arab mempunyai daerah yang cukup luas, dan sebagian besar
wilayahnya terdiri dari padang pasir. Hanya sebagian kecil wilayahnya di bagian
selatan dan utara, daerah yang subur. Posisi geografisnya yang jauh dari
pusat-pusat kerajaan besar dan kondisi alamnya yang sulit dijangkau, menyebabkan
kawasan ini luput dari cengkeraman 2 (dua) imperium besar Romawi dan Persia.
Mata pencaharian penduduk kebanyakan beternak bagi mereka yang mendiami
kawasan tandus, bercocok tanam bagi mereka yang berada di kawasan yang subur.
Kelangsungan hidup mereka tergantung pada alam, dan pembagian peran dalam
masyarakat sangat tergantung pada kondisi obyektif keadaan alam. Laki-laki
bekerja sebagai pencari nafkah keluarga dan mempertahankan keutuhan dan
kehormatan kabilah (sektor publik), dan perempuan bekerja mengasuh anak dan
mengatur urusan rumah tangga (sektor domestik).
Pada masa Jahiliyah, anak-anak perempuan kehadirannya tidak diterima
sepenuh hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh
Al-Qur’an, mulai dari sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada
sikap yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah memperjuangkan dan
berhasil meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya mereka tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya
tidak menerima warisan, termasuk barang yang diwariskan, oleh Islam diberikan
porsi waris yang tetap (faraidh). Islam mendudukkan perempuan sebagai
makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan tanggungjawabnya yang adil
dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa perempuan Muslimah pada masa-masa
berikutnya pernah dan sebagian masih mengalami perlakuan yang berbeda dan
diskriminatif, juga telah menjadi
catatan historis dan kajian para ahli.
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW. membangun pilar-pilar dasar peradaban Islam
didasarkan atas kekokohan pribadi Muslim dan solidnya lembaga keluarga yang
dibangun dalam prinsip kemitraan cinta-kasih (jawz) dan resiprositas
luhur (mu’asyarah bi al-ma’ruf) untuk membangun keluarga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah. Nabi Muhammad SAW. mengangkat derajat perempuan
dengan memperkuat landasan teologis-spiritual, dan merombak iklim kultural yang
berkembang serta menjabarkannya dalam kehidupan keluarganya serta dalam
kebijakan pemerintahannya. Koherensi dan konsistensi ajaran Islam dengan
praktek Rasulullah inilah yang dicatat sebagai suatu revolusi kultural pada
saat itu.
Islam telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan peran dan fungsi
masing-masing dalam menjalani kehidupan ini. Terdapat perbedaan dan
persamaan yang tidak bisa dipandang
sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender. Pembagian tersebut
semata-mata merupakan pembagian tugas yang dipandang sama-sama pentingnya dalam
upaya tercapainya kebahagiaan yang hakiki di bawah keridloan Allah semata.
Islam telah memberikan hak-hak kaum perempuan secara adil, kaum perempuan tidak
perlu meminta apalagi menuntut atau memperjuangkannya, sebagaimana dalam surat
Al Ahzab ayat 35 :

Artinya :
“Sungguh, Laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin,
laki-laki dan perempuan yang dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang
benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki yang
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar.”(Q.S.
Al Ahzab : 35)
Maksud dari ayat di atasadalah sebagai
manusia kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang sama, pahala dan kebaikan
di hari akhir pun juga demikian. Setiap individu akan dihisab berdasarkan
perbuatan yang mereka lakukan di dunia.
Pada dasarnya gender dalam perspektif Islam menganggap kaum perempuan
mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki yaitu sebagai hamba Allah. Sebagaimana
dalam Surat An Nahl ayat 97 :

Artinya : “Dan
Sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka
kerjakan.”(Q.S.An Nahl : 97)
Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan
gender dalam masyarakat, tetapi secara teologis mengatur pola relasi
mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam) dan Tuhan. Hanya dengan demikian
manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah dan hanya khalifah yang
sukses yang dapat mencapai derajat abdi sesungguhnya.Islam mengenalkan konsep
relasi gender yang mengacu pada ayat-ayat (Al Qur an) substantif yang sekaligus
menjadi tujuan umum syariah antara lain mewujudkan keadilan dan kebajikan.
Al-Qur’an, sebagai sumber utama dalam ajaran Islam, telah menegaskan ketika
Allah Yang Maha Pencipta menciptakan manusia termasuk di dalamnya, laki-laki
dan perempuan. Paling tidak ada empat kata yang sering digunakan Al-Qur’an untuk
menunjuk manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas, serta bani
adam. Masing-masing kata ini merujuk
makhluk ciptaan Allah yang terbaik (fi ahsan taqwim), meskipun memiliki
potensi untuk jatuh ke titik yang serendah-rendahnya (asfala safilin),
namun dalam penekanan yang berbeda. Keempat kata ini mencakup laki-laki dan
perempuan.
Al-Qur’an, yang diwahyukan dalam bahasa Arab yang fasih, mengenal
pembedaanantara kata-ganti (dhamirataupronoun) laki-laki dan perempuan, baik
sebagai lawan bicara atau orang kedua (mukhatab), maupun sebagai orang ketiga (ghaib),
namun perbedaan itu tidak ada sebagai orang pertama (mutakallim). Dalam
tradisi penggunaan bahasa Arab, penggunaan bentuk maskulin, sebagai orang kedua
atau ketiga, mencakup juga yang feminin. Pengucapan salam, “Assalamu‘alaikum”misalnya, yang memakai bentuk maskulin (kum), mencakup juga audiensi
perempuan, hingga terasa ‘berlebihan’ untuk menambahi ‘alaikunna yang secara langsung menunjuk kaum perempuan.
Berbicara mengenai prinsip kesadaran gender dalam perspektif Islam,
setidaknya kita dapat mengajukan 5 (lima) variabel yang dapat
digunakan sebagai ukuran untuk menguji bagaimana kitab suci Al-Qur’an
memberitakan pemahaman terhadap gender, yaitu :
1.
Perempuan Dan Laki-Laki Sama-Sama Sebagai Hamba
Surat Adz Dzariyatayat 51 - 56, dalam
kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal.
Hamba ideal dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun),
dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan
jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.
2.
Perempuan Dan Laki-Laki Sama-Sama Sebagai Khalifah Di
Bumi
Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard)
ditegaskan dalam suratAl-An’amayat165, dan
dalam suratAl-Baqarah ayat30. Dalam kedua
ayat tersebut, kata “Khalifah"
tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan
maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan
mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
3.
Perempuan Dan
Laki-Laki Sama-Sama Menerima Perjanjian Awal Dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian
awal dengan Tuhan, seperti dalam surat al A’raf ayat172, yakni ikrar
akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah
manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki
dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Al Qur’an juga
menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis
kelamin.
4.
Hawa Dan Adam Terlibat Secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang
keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan
keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua
orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam
beberapa kasus berikut:
·
Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan
fasilitas surga (Q.S. Al-Baqarahayat35).
·
Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan
(Q.S. Al-A’rafayat20).
·
Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan
(Q.S. Al A’rafayat23).
·
Setelah di bumi keduanya mengembangkanketurunan dan
saling melengkapi dan saling membutuhkan (Q.S. Al Baqarahayat187).
5.
Perempuan Dan Laki-Laki Sama-Sama Berpotensi Meraih
Prestasi
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan
dan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali
Imranayat195; Q.S. An-Nisaayat124; Q.S. An-Nahlayat97.
Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan
ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karier
profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja.
2.3. KeadilanGender
Menurut Islam
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak
ditemukan ayat Al Qur’an dan
hadits yang melarang perempuan aktif di dalamnya. Sebaiknya Al Qur’an dan
hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai
profesi.
Secaraumumlaki-lakidanperempuanmempunyaihak
yang samadalamsetiapaspekkehidupan, sepertiseruanuntukberbuat yang
ma’rufdanmenjauhkan yang mungkar. Hal inidiperkuatdalamsebuahhadits :
منهم فليس المسلمين بامر يهتم لم من
Artinya: “Barangsiapa yang
tidakmemperhatikankepentingan (urusan) kaummuslimin,
makaiatidaktermasukgolonganmereka.”
Haditstersebutditujukankepadalaki-lakimaupunperempuankarenalatarelakangpendidikannyatermasukdalambidangpolitik.Suatu
fatwa sejarahbahwaAisyahra.IstriRasulullahmemimpinpasukandalamperang Jamal (656
M) melawankhalifah Ali bin AbiThalib. KeterlibatanAisyahdalampeperanganitumenunjukkanpartisipasikaummuslimahdalambidangpolitikpraktissekalipun.
Dengan demikian keadilan gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan
dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi
pembangunan bangsa dan negara. Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada
prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai
hamba Tuhan yakni :
- Laki-laki dan perempuan akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan
sesuai dengan pengabdiannya (SuratAn Nahl : 97).
- Sebagai khalifah di bumi (SuratAl A’raaf :165).
- Penerima perjanjian promordial (perjanjian dengan Tuhannya) (SuratAl A’raaf : 172).
- Adam dan hawa dalam cerita terdahulunya (SuratAl A’raaf : 22).
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan dan keadilan gender
serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik dalam bidang
spiritual maupun karir profesional. Laki-laki dan perempuan memperoleh
kesempatan yang sama dalam meraih prestasi yang optimal. Namun dalam realitas
masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi karena masih
terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya.
Tujuan Al Qur an adalah terwujudnya keadilan bagi masyarakat. Keadilan
dalam masyarakat mencakup segala segi kehidupan umat manusia baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat. Al Qur’an tidak
mentolerir segala bentuk penindasan baik berdasarkan kelompok etnis, warna
kulit, suku bangsa, kepercayaan maupun jenis kelamin. Dengan demikian terdapat
suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi
nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Persepsi masyarakat mengenai status
dan peran perempuan masih belum sepenuhnya sama. Ada yang berpendapat bahwa
perempuan harus berada di rumah, mengabdi pada suami, dan mengasuh anak-anaknya.Namun
ada juga yang berpendapat bahwa perempuan harus ikut berperan aktif dalam
kehidupan sosial bermasyarakat dan bebas melakukan sesuai dengan haknya.
Fenomena ini terjadi akibat belum dipahaminya konsep relasi gender.
Dalam Agama Islam juga timbul perbedaan pandangan karena terdapat perbedaan
dalam memahami teks-teks Al-Qur’an tentang gender.Nabi
Muhammad SAW,datang membawa ajaran yang menempatkan wanita pada tempat
terhormat,setara dengan laki-laki.Beberapa ayat-ayat Al-Qur’an menyebutkan
bahwa wanita sejajar dengan laki-laki, seperti :

Artinya :“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka akan Kami berikan mereka
kehidupan yang baik dan akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.”
(Q.S. An-Nahl:97).

Artinya :“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal yang
dilakukan oleh kamu sekalian, kaum laki-laki dan perempuan.”(Q.S.Ali
Imran:195).
Seharusnya dapat dipahami bahwa Allah SWT tidak mendiskriminasi hamba-Nya.
Siapapun yang beriman dan beramal saleh akan mendapat ganjaran yang sama atas
amalnya.Dalam konteks ini laki-laki tidak boleh melecehkan wanita atau bahkan
menindasnya.
Pada dasarnya wanita memiliki kesamaan dalam berbagai hak dengan
laki-laki,namun wanita memang diciptakan Allah dengan suatu keterbasan
dibanding laki-laki. Maka dari itu tugas kenabian dan kerasulan tidak
dibebankan kepada wanita karena perasaan sensitif yang dimiliki wanita. Yang dijelaskan dalam suatu ayat, yang artinya :
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita).”(Q.S. Al-Nisa’:34).
Secara teologis, Allah menciptakan wanita dari “unsur” pria (wa khalaqa minha zaujaha). Sehingga
pada dasarnya laki-laki memiliki kelebihan daripada wanita.Kelebihan ini
selanjutnya menjadi tanggung jawab laki-laki untuk membela dan melindungi
wanita.Namun segala kekurangan yang ada dalam wanita tidak menjadi alasan
wanita kehilangan derajatnya dalam kesetaraan gender.
Walaupun demikian,wanita juga tidak boleh melupakan kodratnya sebagai
wanita.Adapun kodrat
wanita dalamislamadalah :
1.
Menjadi Kepala Rumah Tangga
Dalam suatu riwayat disebutkan :
“Setiap
manusia keturunan Adam adalah kepala, maka seorang pria adalah kepala keluarga,
sedangkan wanita adalah kepala rumah tangga.”(HR. Abu
Hurairah)
Artinya kodrat wanita sebagai istri
kelak akan menjadi kepala rumah tangga, yang mana
seorang istri melakukan tugas-tugas yang tidak dapat dilakukan suami, seperti :
memasak, mencuci, mengurus rumah tangga,mengasuh anak-anak dan lain-lain.Selain
tugas wanita menjadi seorang istri yang mengabdi kepada suami,juga beribadah
kepada Allah.Karena pada dasarnya
beribadah inilah merupakan tugas utama.
2. Sebagai Ibu dari
Anak-Anaknya
Salah satu kodrat wanita yang cukup
berat adalah saat wanita harus mengandung dan melahirkan.Bahkan karena sangat
susah payahnya wanita dalam melahirkan hingga sampai bertaruh nyawa. Allah
menjanjikan pahala yang sama seperti para syuhada.Kedua hal ini merupakan
kodrat wanita yang sangat mulia.Namun tidak cukup sampaidisitu,peran yang sebenarnya adalah dikala wanita menjadi ibu yang dapat
mendidik anaknya menjadi anak yang cerdas,berakhlak dan taat dalam agamanya.
2.4. Kesetaraan
Gender Dalam Al Qur’an
Di dalam ayat-ayat Al Qur an maupun hadits nabi yang merupakan sumber
ajaran Islam terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi
kehidupan manusia dulu, kini dan yang akan datang. Nilai-nilai tersebut antara
lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan, dansebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan,
Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan diskriminasi di
antara umat manusia.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
”Hak dan kewajiban Allah terhadap
hamba-Nyadan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” ( HR. Bukhari).
Dalam memahami kajian kesetaraan
gender, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara gender
dengan seks (jenis kelamin). Kurangnya pemahaman tentang pengertian gender
menjadi salah satu penyebab dalam pertentangan menerima suatu analisis gender
di suatu persoalan ketidakadilan sosial.
Gender adalah pandangan atau keyakinan yang yang dibentuk masyarakat
tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkahlaku
maupun berpikir. Misalnya pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai
memasak, pandai merawat diri, lemah lembut atau keyakinan bahwa perempuan
adalah makhluk yang sensitif, emosional selalu memakai perasaan. Sebaliknya
seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala
rumahtangga, rasional dan tegas.
Perbedaan
antara jenis kelamin dengan gender yaitu, jenis kelamin lebih condong terhadap
fisik seseorang sedangkan gender lebih condong terhadap tingkah lakunya.Selain itu
jenis kelamin merupakan status yang melekat atau bawaan
sedangkan gender merupakan status yang diperoleh atau diperoleh.
Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikonstruksikan
secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari
melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Setelah mengetahui perbedaan jenis
kelamin dengan gender, maka langkah selanjutnya yaitu kita dapat memahami
pengertian “Kesetaraan Gender”. Kesetaraan Gender merupakan kesamaan kondisi
bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,
hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional
(hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Kesetaraan
gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. Keadilan
gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki – laki dan
perempuan. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak
adanya diskriminasi baik terhadap laki – laki maupun perempuan. Sehingga
dengan hal ini
setiap orang memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan
tersebut.
Dalam Surat Al Isra ayat 70 bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu
laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dalam kedudukan yang paling
terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memilki akal, perasaan dan
menerima petunjuk. Berikutartinya:
“Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan
dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dari kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Oleh karena itu Al Qur an tidak mengenal perbedaan antara laki-laki dan
perempuan karena di hadapan Allah SWT, laki-laki dan perempuan mempunyai
derajat dan kedudukan yang sama dan yang membedakan antara laki-laki dan
perempuan hanyalah dari segi biologisnya.
Adapun dalil-dalil dalam Al Qur an yang mengatur dalam kesetaraan gender
adalah:
1.
Tentang Hakikat Penciptaan Laki-Laki Dan Perempuan
Surat Ar Ruumayat21, surat An
Nisaaayat1, surat Hujuratayat13, yang
intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan
yaitu laki-laki dan perempuan supaya mereka hidup tenang dan tenteram agar
saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi. Menunjukkan hubungan
yang saling timbal balik antara laki-laki dan perempuan dan tak ada satupun
yang superioritas.
2.
Tentang Kedudukan Dan Kesetaraan Antara Laki-Laki Dan
Perempuan
Surat Al Imran ayat195, suratAn Nisaaayat 124, surat
An Nahl ayat 97, Surat
At Taubah ayat 71-72, Al
Ahzab ayat 35. Ayat-ayat
tersebut menunjukkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menegakkan
nilai-nilai Islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah juga memberikan
peran dan tanggungjawab yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam
menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah memberikan sanksi yang sama
terhadap perempuan dan laki-laki untuk semua kesalahan yang dilakukannya.
Kedudukan dan derajat antara laki-laki dan perempuan di mata Allah SWT adalah
sama yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
2.5. Perempuan Dalam Konsep Islam
1. Perempuan Sebagai Individu
Al Qur’an
menyoroti perempuan sebagai individu. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara
perempuan dalam kedudukannya sebagai individu dengan perempuan sebagai anggota
masyarakat. Al Qur’an
memperlakukan baik individu perempuan dan laki-laki adalah sama, karena hal ini
berhubungan antara Allah dan individu perempuan dan laki-laki tersebut,
sehingga terminologi kelamin(sex) tidak diungkapkan dalam masalah ini.
Pernyataan-pernyataan Al Qur’an tentang
posisi dan kedudukan perempuan dapat dilihat dalam beberapa ayat berikut:
1. Perempuan
adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai kewajiban samauntuk beribadah kepada-Nya
sebagaimana termuat dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 56.
2. Perempuan
adalah pasangan bagi kaum laki-laki termuat dalam Q.S. An-Naba’ayat 8.
3. Perempuan
bersama-sama dengan kaum laki-laki juga akan mempertanggungjawabkan secara
individu setiap perbuatan dan pilihannya termuat dalam Q. S. Maryam ayat 93-95.
4. Sama halnya
dengan kaum laki-laki mukmin, para perempuan mukminat yang beramal saleh
dijanjikan Allah untuk dibahagiakan selama hidup di dunia danabadi di surga.
Sebagaimana termuat dalam Q.S. An-Nahl ayat 97.
5. Sementara
itu Rasulullah juga menegaskan bahwa kaum perempuan adalah saudara kandung kaum
laki-laki dalam H.R. Ad-Darimy dan Abu Uwanah.
Dalam
ayat-ayat-Nya bahkan Al Qur’an tidak
menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam,
sehingga karenanya kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu prinsip
Al Qur’an terhadap kaum laki-laki dan
perempuan adalah sama, dimana hak
istri adalah diakui secara adil(equal) dengan hak suami. Dengan kata
lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas perempuan,dan kaum perempuan
juga memiliki hak dan kewajiban atas laki-laki. Karena hal tersebutlah maka
AlQur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan
kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak antara laki-laki dan perempuan.
2. Perempuan Dan Hak Kepemilikan
Islam
sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang berlandaskan
keadilan atas kedudukan laki-laki dan perempuan. Selain dalam hal pengambilan
keputusan, kaum perempuan dalam Islam juga memiliki hak-hak ekonomi, yakni
untuk memiliki harta kekayaannya sendiri, sehingga dan tidak suami ataupun
bapaknya dapat mencampuri hartanya. Hal tersebut secara tegas disebutkan dalam
An-Nisa’ayat 32 yang artinya:
“Dan
janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkanAllah kepada
sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki adabagian dari
apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dariapa yang
mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kepemilikan
atas kekayaannya tersebut termasuk yang didapat melalui warisan ataupun yang
diusahakannya sendiri. Oleh karena itu, mahar atau
maskawin dalam Islam harus dibayar untuknya sendiri, bukan untuk orang tua dan
tidak bisadiambil kembali oleh suami.Sayyid Qutb menegaskan bahwa tentang
kelipatan bagian kaum pria dibanding kaum perempuan dalam hal harta warisan,
sebagaimana yang tertulisdalam AlQur’an, maka rujukannya adalah watak kaum pria
dalam kehidupan, ia menikahi wanita dan bertanggung jawab terhadap nafkah
keluarganya selain ia jugabertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang
berkaitan dengan keluarganya itu.Itulah sebabnya ia berhak memperoleh bagian
sebesar bagian untuk dua orang,sementara itu kaum wanita, bila ia bersuami,
maka seluruh kebutuhannya ditanggungoleh suaminya, sedangkan bila ia masih
gadis atau sudah janda, maka kebutuhannya terpenuhi dengan harta warisan yang
ia peroleh, ataupun kalau tidak demikian, iabisa ditanggung oleh kaum kerabat
laki-lakinya. Jadi perbedaan yang ada di sini hanyalah perbedaan yang muncul
karena karakteristik
tanggung jawab mereka yang mempunyai konsekuensi logis
dalam pembagian warisan.Islam jugamemberikan
jaminan yang penuhkepada kaum wanita dalam bidang keagamaan, pemilikan dan
pekerjaan, dan realisasinya dalam jaminan mereka dalam masalah pernikahan yang
hanya boleh diselenggarakan dengan izin dan kerelaan wanita-wanita yang akan
dinikahkan itutanpa melalui paksaan. Sebagaimanadalamhaditsberikut
:
“Janganlah
menikahkan janda sebelum diajak musyawarah,dan janganlah menikahkan gadis
perawan sebelum diminta izinnya, dan izinnyaadalah sikap diamnya” (HR.
Bukhari Muslim).
Bahkan Islam
memberi jaminan semua hak kepada kaum wanita dengan semangat kemanusiaan yang
murni, bukan disertai dengan tekanan ekonomis atau materialis. Islam justru
memerangi pemikiran yang mengatakan bahwa kaum wanita hanyalah sekedar alat
yang tidak perlu diberi hak-hak. Islam memerangi kebiasan penguburan hidup
anak-anak perempuan, dan mengatasinya dengan semangat kemanusiaan yang murni,
sehingga ia mengharamkan pembunuhan seperti itu.
3. Perempuan Dan Pendidikan
Islam
memerintahkan baik laki-laki maupun perempuan agar berilmu pengetahuan dan
tidak menjadi orang yang bodoh. Allah sangat mengecam orang-orang yang tidak
berilmu pengetahuan, baik laki-laki maupun perempuan.Sebagaimana dalam Q.S.
Az-Zumar ayat 9. Kewajiban menuntut ilmu juga ditegaskan nabi dalam hadits yang
artinya,“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap laki-laki dan perempuan”(HR.Muslim).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam justru menumbangkan suatusistem
sosial yang tidak adil terhadap kaum perempuan dan menggantikannya dengan
sistem yang mengandung keadilan. Islam memandang perempuan adalah sama dengan
laki-laki dari segi kemanusiannya. Islam memberi hak-hak kepada perempuan
sebagaimana yang diberikan kepada kaum laki-laki dan membebankan kewajiban yang
sama kepada keduanya.
2.6. Hukum Wanita Bekerja Di Luar Rumah
Dalam Perspektif Islam
Kodrat wanita sebenarnya mengurusi urusan rumah, suami dan keluarganya.
Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di pundaknya-lah tanggung
jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi
tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan
segala urusan di luar rumah, sedang sang ibu memiliki tugas utama yang mulia,
yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta
mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan
janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i
adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Inilah keluarga yang ideal dalam Islam, kepala keluarga sebagai penanggung
jawab utama urusan luar rumah, dan ibu sebagai penanggung jawab utama urusan
dalam rumah. Seorang suami menjadi pemimpin dikarenakan dalam
suatu kelompok harus ada yang memimpin dan dari kodrat
laki-laki memiliki karakteristik yang tangguh, rasional, kuat,dan sebagainya. Maka dari itu laki-laki dijadikan sebagai kepala
rumah tangga atau pemimpin. Sungguh, jika aturan ini benar-benar kita terapkan,
dan kita saling memahami tugas masing-masing, niscaya terbangun tatanan
masyarakat yang maju dan berimbang dalam bidang moral dan materialnya, tercapai
ketentraman lahir batinnya, dan juga teraih kebahagiaan dunia akhiratnya.
Adapun yang mengatakan pekerjaan rumah bukanlah menjadi suatu keharusan
atas wanita, terjadi karena ia bekerja secara sukarela. Bahkan sesudah
menikahpun pekerjaan rumah
menjadi suatu hal yang
sukarela bukan menjadi kewajiban karena memang tidak ada di akad nikah.
Pekerjaan di dalam dan di luar rumah tidak wajib untuk wanita. Namun, bukan
berarti ia tidak boleh mengerjakan apapun dalam kehidupan. Islam menginginkan
wanita melaksanakan pekerjaan rumahnya sebagai sumbangsih, bukan
sebagai keharusan, karena itu merupakan bentuk pengabdian sosial dalam peranan
khususnya.
Bekerja
adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga
tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk
bekerja dan bisnis, karena Allah
mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ
عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya,
dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105).
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Allah juga
mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya. Karenanya
seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu
pria maupun wanita, Allah berfirman
(yang artinya):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta
sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian
berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29)
Perintah ini berlaku umum, baik pria maupun wanita.Akan tetapi, wajib diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan
bisnisnya, hendaklah pelaksanaannya bebas dari hal-hal yang menyebabkan
masalah, kemungkaran, senantiasa menutupi aurat, menjaga kehormatan diri. Dalam
pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat (campur) dengan pria dan
tidak menimbulkan fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya harusnya dalam keadaan
tidak mendatangkan fitnah, selalu berusaha memakai hijab syar’i, tertutup, dan
menjauh dari sumber-sumber fitnah.
Karena itu, jual beli antara mereka bila dipisahkan dengan pria itu boleh,
begitu pula dalam pekerjaan mereka. Yang wanita boleh bekerja sebagai dokter,
perawat, dan pengajar khusus untuk wanita, yang pria juga boleh bekerja sebagai
dokter dan pengajar khusus untuk pria. Adapun bila wanita menjadi dokter atau
perawat untuk pria, sebaliknya pria menjadi dokter atau perawat untuk wanita,
maka praktek seperti ini tidak dibolehkan oleh syari’at, karena
adanya fitnah dan kerusakan di dalamnya.
Bolehnya bekerja, harus dengan syarat tidak membahayakan agama dan
kehormatan, baik untuk wanita maupun pria. Pekerjaan wanita harus bebas dari
hal-hal yang membahayakan agama dan kehormatannya, serta tidak menyebabkan
fitnah dan kerusakan moral pada pria. Begitu pula pekerjaan pria harus tidak
menyebabkan fitnah dan kerusakan bagi kaum wanita.
Hendaklah kaum pria dan wanita itu masing-masing bekerja dengan cara yang
baik, tidak saling membahayakan antara satu dengan yang lainnya, serta tidak
membahayakan masyarakatnya. Kecuali dalam keadaan darurat, jika situasinya
mendesak seorang pria boleh mengurusi wanita, misalnya pria boleh mengobati
wanita karena tidak adanya wanita yang bisa mengobatinya, begitu pula
sebaliknya. Tentunya dengan tetap berusaha menjauhi sumber-sumber fitnah,
seperti menyendiri, membuka aurat, dan lain-lain yang bisa
menimbulkan fitnah. Ini merupakan pengecualian (hanya boleh dilakukan jika
keadaannya darurat).
Peranan wanita sebagai manusia adalah peranannya sebagai istri dan ibu,
menjaga anak dan memenuhi semua kebutuhan suami. Ketika seorang ibu sibuk
dengan urusan pekerjaannya, maka ia dapat menyerahkan tugas itu kepada orang
yang dipercayainya untuk mengisi waktu kosong ketika ibu tidak bisa
mendampinginya. Seorang ibu juga harus meluangkan waktu untuk anaknya dengan
memberikan kasih sayang dan perhatian agar anak tidak cemas karena
kepergiannya. Wanita dapat menggunakan waktu luang untuk berpartisipasi dalam
aktivitas sosial bukan berarti wanita dalam keibuannya menjadi terasing dari
masyarakat. Tidak juga atas kesibukannya menjadikan wanita lupa akan peran dan
tanggung jawab umum sebagai seorang ibu.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan, jika istri
ingin bekerja, diantaranya:
1. Tidak
termasuk perbuatan maksiat, seperti menyanyi atau memainkan alat musik, dan
tidak mencoreng nama baik keluarga. Apabila wanita rela disewa untuk melakukan
sesuatu yang menodai
kehormatannya maka keluarga boleh membatalkan akadnya.
2. Pekerjaannya
tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus
rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban
baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak
wajib.
3. Harus dengan
izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya. Wanita yang telah menikah
adalah manusia yang dapat mengambil kebebasannya di luar komitmen-komitmen
rumah tangga. Adapun yang berkaitan dengan komitmen-komitmen rumah tangganya,
maka ia harus menundukkan kemauannya kepada kemauan suaminya sebagai
konsekuensi dari tabiat komitmen suami-istri.
4. Tidak
mengharuskannya berduaan dengan laki-laki asing. Diharamkan perempuan mempunyai
asisten pribadi yang bukan muhrim karena jelas diharamkan oleh agama
memungkinkan terjadinya kemaksiatan. Rasulullah SAW
bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki
berduaan dengan perempuan, karena setan
menjadi pihak ketiga”.
5. Pekerjaan
yang tidak mengharuskan dirinya berdandan dan membuka aurat ketika keluar rumah
karena mengundang
syahwat dan perhatian.
6. Menerapkan
adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak
memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dan lain-lain.
7. Pekerjaannya
sesuai dengan tabi’at wanita, perempuan dilarang melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang terbilang berat seperti polisi dan tentara. Dan diperbolehkan pekerjaan
ringan seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dan lain-lain.
8. Tidak ada
ikhtilat di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang
khusus wanita, misalnya: sekolah
wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dan lain-lain.
9. Hendaklah
mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada,
baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada,
maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan
wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali,
misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya
sakit, dan lain-lain.
2.7. Dampak Positif Dan Negatif Dari Perempuan Karier
Terjunnya perempuan dalam dunia karier, banyak pengaruh terhadap segala
aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi dan keluarga maupun kehidupan
masyarakat sekitarnya. Hal demikian dapat menimbulkan dampak positif dan
negatif. Pengaruh positif dengan adanya perempuan karier, antara lain sebagai
berikut :
Dengan berkarier, perempuan
dapat mencukupi kebutuhan finansial
dan membantu meringankan beban keluarga yang tadinya hanya dipikul oleh suami
yang mungkin kurang memenuhi kebutuhan, tetapi dengan adanya perempuan ikut
berkiprah dalam mencari nafkah maka krisis ekonomi dapat ditanggulangi.
Dengan berkarier, perempuan dapat memberikan pengertian dan penjelasan
kepada keluarganya, utamanya kepada putra-putrinya tentang kegiatan-kegiatan
yang diikutinya
sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam kariernya, putra putrinya akan
bangga dan gembira, bahkan menjadikan ibunya sebagai panutan dan suri tauladan
bagi masa depannya.
Dalam memajukan serta mensejahterakan masyarakat dan bangsa diperlukan
partisipasi serta keikutsertaan kaum perempuan karena dengan segala potensinya,
perempuan mampu dalam hal ini, bahkan ada diantara pekerjaan yang tidak bisa
dilaksanakan oleh kaum laki-laki dapat berhasil ditangani oleh kaum perempuan
baik karena keahlian maupun bakatnya.
Dengan berkarier, perempuan dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya lebih
bijaksana, demokratis, dan tidak otoriter sebab dengan kariernya itu ia bisa
belajar dan memiliki pola pikir yang modern. Kalau ada problem dalam rumah
tangga yang harus diselesaikan, maka ia akan segera mencari jalan keluar secara
tepat dan benar.
Dengan berkarier, perempuan yang menghadapi kemelut dalam rumah tangga atau
sedang mendapat gangguan jiwa akan terhibur dan jiwanya akan menjadi sehat. Jika seorang
tidak bekerja atau diam saja, maka ia akan melamun, berkhayal memikirkan atau
mengenangkan hal-hal yang dalam kenyataan tidak dialami atau tidak
dirasakannya. Apabila orang terbiasa berkhayal maka khayalan itu akan lebih
mengasyikkannya daripada bekerja dan berpikir secara objektif. Orang-orang yang
suka menghabiskan waktunya untuk berkhayal itu akan mudah diserang oleh
gangguan atau penyakit.
Dampak negatif timbul dengan adanya perempuan karier
antara lain, sebagai
berikut :
Dari segi negatifnya malah menyimpang, memunculkan adanya kebebasan pribadi
dari orang-orang yang sangat tunduk pada tekanan-tekanan mereka, dan
menghalalkan segalanya untuk mencapai tujuannya.
Pekerjaan wanita di luar rumah biasanya terjadi bagi wanita yang telah
menikah dengan mengorbankan anak dan keluarga, dan kehilangan banyak kedamaian
jiwa dikarenakan jauh
dari keluarga dan anak dan mengalami banyak problem yang disebabkan berpergian
dari rumah (peran pengasuh, peran pembantu, tidak ada kegairahan dalam suami
istri, dan sebagainya). Yang
diantaranya berpengaruh terhadapa anak, suami, keluarga dan kaum lelaki.
2.8. Upaya Penanggulangan
Dampak Negatif Dari Perempuan Karier
Untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya ekses dalam berkarier bagi
perempuan muslimah, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :
Dalam berkarier, tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai ibu rumah
tangga yaitu, mengurus suami dan anak-anaknya. Ia harus menomorsatukan urusan
rumah tangga di atas segalanya. Dalam
hal ini, perlu adanya pengaturan yang baik. Apabila perempuan telah menunjukkan
aktivitas yang
baik dalam membina rumah tangganya, berarti ia bukan saja telah
menjalankan tugas kemasyarakatan, tetapi sekaligus juga telah menjalankan
sebagian tugas-tugas agama karena ia turut menyumbang andil dalam proses
pembangunan bangsa dan syiar agama. Apabila perempuan
telah berhasil menciptakan suasana rumah tangga yang bahagia, sejahtera lahir
batin, maka anggota keluarganya akan merasa bahagia. Kemudian untuk
menanggulangi perpecahan keluarga, harus ada izin suami terhadap dunia karier
seorang perempuan sejak awal, karena adanya saling pengertian antara suami dan
istri akan muncul saling keterbukaan dan menanamkan keikhlasan bahwa bekerja
memperoleh manfaat bersama.
Tidak melampaui batas kodrat perempuan. Perempuan karier harus menghindari “women’s lib”seperti yang
dituntut perempuan di barat. Meskipun perempuan itu bisa menjadi kuli atau
tukang angkat barang, supir truk, kondektur, kerja di pabrik dan sebagainya,
namun hal itu tidak layak ditinjau dari segi kodrat karena memerlukan
keterampilan fisik dan tidak pantas secara moral untuk melakukannya. Perempuan
yang bekerja tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya akan
membawa konsekuensi terhadap ketidakseimbangan antara fisik dan mentalnya.
Seperti gejala fisik diantaranya keletihan yang dapat menghilangkan gairah
hidup, sedangkan dari segi mental akan dijumpai gejala kejiwaan seperti, selalu
ingin marah, merasa cemas, sering sedih, serta stres. Stres bisa menimbulkan
konflik antara suami dan anak-anaknya, bahkan dengan orang-orang di tempat
kerja.
Tidak melampaui batas-batas dan aturan agama utamanya dengan lawan jenis
dalam lingkungan
pekerjaan. Sering menimbulkan fitnah dan pengaruh negatif terhadap dirinya,
rumah tangganya, dan rumah tangga lawan jenisnya sebab hubungan terus menerus
antara laki-laki dan perempuan dalan suatu lingkungan kerja yang akan mendekati
dengan perbuatan zina. Jika perempuan dan laki-laki tidak memperhatikan
batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama, apalagi kalau perempuan karier
itu suka memamerkan perhiasan
serta kecantikan, dan terbiasa membuka auratnya. Apabila perempuan karier tetap
menjaga “akhlaqul karimah”dan
aturan-aturan agama dalam lingkungan kerjanya, maka kemungkinan timbulnya
fitnah dapat dicegah.
2.9.
Kewajiban Suami Terhadap Hak Istri Dan Kewajiban Istri Terhadap Hak
Suami
Kewajiban Suami Terhadap
Hak Istri
1. Memimpin istri dan
anak-anaknya. Dalam surat An-Nisaayat34, yang artinya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Tugas pemimpin rumah tangga menyangkut segala aspek kehidupan keluarga.
Seperti layaknya pemimpin laki-laki wajib, melindungi, mendidik, mengawasi dan
mengajari hal-hal yang tidak diketahui istri atau anak-anaknya, terutama dalam
masalah agama.
2. Nafkah, seorang laki-laki yang
telah menikah tentu memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya,
seperti diterangkan dalam Q.S Al-Baqarahayat233, yang artinya :
“Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
3. Mahar adalah apabila akad
perkawinan telah terlaksana, suami diwajibkan memberikan suatu pemberian kepada
istrinya. Dasar hukumnya adalah firman Allah QS. An-Nisaayat4, yang artinya :
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.”
4. Bergaul dengan Istrinya
dengan cara baik. Tercantum dalam QS.
An-Nisaayat19, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksadan janganlah kamu menyusahkan mereka
Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Kewajiban Istri Terhadap Hak Suami
1.
Istri menutup aurat (Q.S.An-Nurayat31) yang
menjelaskan bahwa seorang istri harus bisa menjaga pandangan dan tidak mencoba
memamerkan perhiasan, jika ingin melakukan hal itu lakukanlah kepada muhrimnya
dan berkerudung untuk menutupi aurat.
2. Taat dan
patuh (Q.S. An-Nisaayat34) yang
menjelaskan mengenai ketaatan, taat dan patuh istri kepada suami bukan rasa
taat dan patuh seperti buruh ke majikannya melainkan rasa taat dan patuh yang
dilandasi akan rasa cinta kasih sehingga timbullah rasa sayang kembali yang
dikeluarkan oleh sang suami.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus