Jumat, 29 Januari 2016

Problematika Gender Dalam Perspektif Islam

2.1. Definisi Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris gender, dalam kamus bahasa inggris-indonesia berarti jenis kelamin. Sedangkan dalam Webster’s New World Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Genderberasal darikata Genyang berartiperbedaan peran, tugas, fungsi, dan tanggung-jawab serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena dibentuk oleh tata nilai sosial budaya (konstruksi sosial) yang dapat diubah dan berubah sesuai kebutuhan atau perubahan zaman (menurut waktu dan ruang).
Mansoer Fakih berpendapat bahwa gender adalah sifatataukarakter yang telah tertanam dalam diri manusia (laki-laki dan perempuan) yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
Gender bukanlah  kodrat dan ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur oleh ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata lain, gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Gender ialah:
a. Konstruksiataubentuk sosial
b. Tidak dimiliki sejak lahir
c. Bisa dibentuk atau bisa berubah
d.Dipengaruhi oleh:
Tempat
Waktu atau zaman
Suku atau ras atau bangsa
Budaya
Status sosial
Pemahaman agama
Ideologi negara
e. Karena itu Gender :
Bukan kodrat
Dibuat manusia
Bisa dipertukarkan
Relatif
Gender pada mulanya adalah suatu klasifikasi gramatikal untuk benda-benda menurut jenis kelaminnya. Kesetaraan gender sering dituntut secara tidak proposional. Semua kondisi tersebut tambah meramai masalah problem gender. Tentu saja keadilan dan kesetaraan gender tidak harus berarti keramaian dalam semua hal. Perlu kearifan yang lebih objektif dan realistis untuk mengembangkan konsep atau mengaktualisasikan konsep peran-peran gender yang lebih proporsional dan adil.

2.2.Gender Dalam Perspektif Islam
Sejarah telah menginformasikan bahwa sebelum diturunkannya kitab suci  Al-Qur’an, berbagai peradaban umat manusia telah  berkembang sedemikian rupa, seperti halnya peradaban bangsa Yunani, Romawi, India, Cina dan yang lainnya. Dan juga sebelum datangnya agama Islam, telah datang terlebih dahulu berbagai agama, seperti agama Zoroaster, Buddha, dan yang paling belakangan adalah agama Yahudi dan Nasrani.
Pada puncak peradaban Yunani, perempuan tidak mendapat penghargaan yang adil, karena mereka dianggap alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Kaum laki-laki diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut, dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa adalah merupakan bukti yang menyatakan pandangan itu.
Peradaban Romawi juga tidak begitu berbeda dengan Yunani, menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Peristiwa tragis ini berlangsung sampai pada abad V Masehi. Segala hasil usaha perempuan, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Konstantin (abad XV), terjadi sedikit perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui terlebih dahulu oleh keluarga (suamiatauayah).
Peradaban Hindu dan Cina, juga tidak lebih baik. Hak hidup bagi seorang perempuan yang telah bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri terkadang harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad XVII Masehi.
Sepanjang abad pertengahan nasib perempuan tetap sangat memperihatinkan, sampai dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggris masih mengakui hak suami untuk menjual istrinya, bahkan sampai dengan tahun 1882 perempuan Inggris belum lagi mempunyai hak kepemilikan harta benda secara penuh, termasuk hak menuntut ke pengadilan.
Untuk dapat mengetahui keberadaan dan peran yang dimainkan Islam, diperlukan pemahaman mendalam terhadap stratifikasi sosial budaya bangsa Arab menjelang dan ketika Al-Qur’an diturunkan. Misi Al-Qur’an hanya dapat dipahami secara utuh setelah memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan boleh jadi, sejumlah ayat dalam Al-Qur’an (termasuk ayat-ayat yang menjelaskan gender), dapat disalah pahami tanpa memahami latar belakang sosial budaya masyarakat Arab.
Jazirah Arab mempunyai daerah yang cukup luas, dan sebagian besar wilayahnya terdiri dari padang pasir. Hanya sebagian kecil wilayahnya di bagian selatan dan utara, daerah yang subur. Posisi geografisnya yang jauh dari pusat-pusat kerajaan besar dan kondisi alamnya yang sulit dijangkau, menyebabkan kawasan ini luput dari cengkeraman 2 (dua) imperium besar Romawi dan Persia.
Mata pencaharian penduduk kebanyakan beternak bagi mereka yang mendiami kawasan tandus, bercocok tanam bagi mereka yang berada di kawasan yang subur. Kelangsungan hidup mereka tergantung pada alam, dan pembagian peran dalam masyarakat sangat tergantung pada kondisi obyektif keadaan alam. Laki-laki bekerja sebagai pencari nafkah keluarga dan mempertahankan keutuhan dan kehormatan kabilah (sektor publik), dan perempuan bekerja mengasuh anak dan mengatur urusan rumah tangga (sektor domestik).
Pada masa Jahiliyah, anak-anak perempuan kehadirannya tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh Al-Qur’an, mulai dari sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada sikap yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah memperjuangkan dan berhasil meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya mereka  tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya tidak menerima warisan, termasuk barang yang diwariskan, oleh Islam diberikan porsi waris yang tetap (faraidh). Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan tanggungjawabnya yang adil dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa perempuan Muslimah pada masa-masa berikutnya pernah dan sebagian masih mengalami perlakuan yang berbeda dan diskriminatif, juga telah menjadi  catatan historis dan kajian para ahli.
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW. membangun pilar-pilar dasar peradaban Islam didasarkan atas kekokohan pribadi Muslim dan solidnya lembaga keluarga yang dibangun dalam prinsip kemitraan cinta-kasih (jawz) dan resiprositas luhur (mu’asyarah bi al-ma’ruf) untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Nabi Muhammad SAW. mengangkat derajat perempuan dengan memperkuat landasan teologis-spiritual, dan merombak iklim kultural yang berkembang serta menjabarkannya dalam kehidupan keluarganya serta dalam kebijakan pemerintahannya. Koherensi dan konsistensi ajaran Islam dengan praktek Rasulullah inilah yang dicatat sebagai suatu revolusi kultural pada saat itu.
Islam telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan peran dan fungsi masing-masing dalam menjalani kehidupan ini. Terdapat perbedaan dan persamaan  yang tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender. Pembagian tersebut semata-mata merupakan pembagian tugas yang dipandang sama-sama pentingnya dalam upaya tercapainya kebahagiaan yang hakiki di bawah keridloan Allah semata. Islam telah memberikan hak-hak kaum perempuan secara adil, kaum perempuan tidak perlu meminta apalagi menuntut atau memperjuangkannya, sebagaimana dalam surat Al Ahzab ayat 35 :
http://www.islamicity.com/mosque/arabicscript/Ayat/33/33_35.gif
Artinya : “Sungguh, Laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki yang menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”(Q.S. Al Ahzab : 35)
Maksud dari ayat di atasadalah sebagai manusia kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang sama, pahala dan kebaikan di hari akhir pun juga demikian. Setiap individu akan dihisab berdasarkan perbuatan yang mereka lakukan di dunia.
Pada dasarnya gender dalam perspektif Islam menganggap kaum perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki yaitu sebagai hamba Allah. Sebagaimana dalam Surat An Nahl ayat 97 :
http://pipiew.files.wordpress.com/2008/06/an-nahl-97.jpg
Artinya : “Dan Sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka kerjakan.”(Q.S.An Nahl : 97)
Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyarakat, tetapi secara teologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam) dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah dan hanya khalifah yang sukses yang dapat mencapai derajat abdi sesungguhnya.Islam mengenalkan konsep relasi gender yang mengacu pada ayat-ayat (Al Qur an) substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah antara lain mewujudkan keadilan dan kebajikan.
Al-Qur’an, sebagai sumber utama dalam ajaran Islam, telah menegaskan ketika Allah Yang Maha Pencipta menciptakan manusia termasuk di dalamnya, laki-laki dan perempuan. Paling tidak ada empat kata yang sering digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas, serta bani adam.  Masing-masing kata ini merujuk makhluk ciptaan Allah yang terbaik (fi ahsan taqwim), meskipun memiliki potensi untuk jatuh ke titik yang serendah-rendahnya (asfala safilin), namun dalam penekanan yang berbeda. Keempat kata ini mencakup laki-laki dan perempuan.
Al-Qur’an, yang diwahyukan dalam bahasa Arab yang fasih, mengenal pembedaanantara kata-ganti (dhamirataupronoun) laki-laki dan perempuan, baik sebagai lawan bicara atau orang kedua (mukhatab),  maupun sebagai orang ketiga (ghaib), namun perbedaan itu tidak ada sebagai orang pertama (mutakallim). Dalam tradisi penggunaan bahasa Arab, penggunaan bentuk maskulin, sebagai orang kedua atau ketiga, mencakup juga yang feminin. Pengucapan salam,Assalamu‘alaikummisalnya, yang memakai bentuk maskulin (kum), mencakup juga audiensi perempuan, hingga terasa ‘berlebihan’ untuk menambahi ‘alaikunna  yang secara langsung menunjuk kaum perempuan.
Berbicara mengenai prinsip kesadaran gender dalam perspektif Islam, setidaknya kita dapat mengajukan 5 (lima) variabel yang dapat digunakan sebagai ukuran untuk menguji bagaimana kitab suci Al-Qur’an memberitakan pemahaman terhadap gender, yaitu :
1.    Perempuan Dan Laki-Laki Sama-Sama Sebagai Hamba
Surat Adz Dzariyatayat 51 - 56, dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.
2.    Perempuan Dan Laki-Laki Sama-Sama Sebagai Khalifah Di Bumi
Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan dalam suratAl-An’amayat165, dan dalam suratAl-Baqarah ayat30. Dalam kedua ayat tersebut, kata “Khalifah" tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
3.    Perempuan Dan Laki-Laki Sama-Sama Menerima Perjanjian Awal Dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam surat al A’raf ayat172, yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Al Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin.
4.    Hawa Dan Adam Terlibat Secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut:
·  Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S. Al-Baqarahayat35).
·  Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S. Al-A’rafayat20).
·  Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S. Al A’rafayat23).
·  Setelah di bumi keduanya mengembangkanketurunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (Q.S. Al Baqarahayat187).
5.    Perempuan Dan Laki-Laki Sama-Sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imranayat195; Q.S. An-Nisaayat124; Q.S. An-Nahlayat97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja.

2.3. KeadilanGender Menurut Islam
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak ditemukan ayat Al Quran dan hadits yang melarang perempuan aktif di dalamnya. Sebaiknya Al Quran dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.
Secaraumumlaki-lakidanperempuanmempunyaihak yang samadalamsetiapaspekkehidupan, sepertiseruanuntukberbuat yang ma’rufdanmenjauhkan yang mungkar. Hal inidiperkuatdalamsebuahhadits :
منهم فليس المسلمين بامر يهتم لم من
Artinya: “Barangsiapa yang tidakmemperhatikankepentingan (urusan) kaummuslimin, makaiatidaktermasukgolonganmereka.”
Haditstersebutditujukankepadalaki-lakimaupunperempuankarenalatarelakangpendidikannyatermasukdalambidangpolitik.Suatu fatwa sejarahbahwaAisyahra.IstriRasulullahmemimpinpasukandalamperang Jamal (656 M) melawankhalifah Ali bin AbiThalib. KeterlibatanAisyahdalampeperanganitumenunjukkanpartisipasikaummuslimahdalambidangpolitikpraktissekalipun.
Dengan demikian keadilan gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara. Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Tuhan yakni :
- Laki-laki dan perempuan akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya (SuratAn Nahl : 97).
- Sebagai khalifah di bumi (SuratAl A’raaf :165).
- Penerima perjanjian promordial (perjanjian dengan Tuhannya) (SuratAl Araaf : 172).
- Adam dan hawa dalam cerita terdahulunya (SuratAl Araaf : 22).
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun karir profesional. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama dalam meraih prestasi yang optimal. Namun dalam realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya.
Tujuan Al Qur an adalah terwujudnya keadilan bagi masyarakat. Keadilan dalam masyarakat mencakup segala segi kehidupan umat manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Al Quran tidak mentolerir segala bentuk penindasan baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, kepercayaan maupun jenis kelamin. Dengan demikian terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Persepsi masyarakat mengenai status dan peran perempuan masih belum sepenuhnya sama. Ada yang berpendapat bahwa perempuan harus berada di rumah, mengabdi pada suami, dan mengasuh anak-anaknya.Namun ada juga yang berpendapat bahwa perempuan harus ikut berperan aktif dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bebas melakukan sesuai dengan haknya. Fenomena ini terjadi akibat belum dipahaminya konsep relasi gender.
Dalam Agama Islam juga timbul perbedaan pandangan karena terdapat perbedaan dalam memahami teks-teks Al-Qur’an tentang gender.Nabi Muhammad SAW,datang membawa ajaran yang menempatkan wanita pada tempat terhormat,setara dengan laki-laki.Beberapa ayat-ayat Al-Qur’an menyebutkan bahwa wanita sejajar dengan laki-laki, seperti :
Artinya :“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka akan Kami berikan mereka kehidupan yang baik dan akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.”
(Q.S. An-Nahl:97).
Artinya :“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal yang dilakukan oleh kamu sekalian, kaum laki-laki dan perempuan.”(Q.S.Ali Imran:195).
Seharusnya dapat dipahami bahwa Allah SWT tidak mendiskriminasi hamba-Nya. Siapapun yang beriman dan beramal saleh akan mendapat ganjaran yang sama atas amalnya.Dalam konteks ini laki-laki tidak boleh melecehkan wanita atau bahkan menindasnya.
Pada dasarnya wanita memiliki kesamaan dalam berbagai hak dengan laki-laki,namun wanita memang diciptakan Allah dengan suatu keterbasan dibanding laki-laki. Maka dari itu tugas kenabian dan kerasulan tidak dibebankan kepada wanita karena perasaan sensitif yang dimiliki wanita. Yang dijelaskan dalam suatu ayat, yang artinya :
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).”(Q.S.  Al-Nisa’:34).
Secara teologis, Allah menciptakan wanita dari “unsur” pria (wa khalaqa minha zaujaha). Sehingga pada dasarnya laki-laki memiliki kelebihan daripada wanita.Kelebihan ini selanjutnya menjadi tanggung jawab laki-laki untuk membela dan melindungi wanita.Namun segala kekurangan yang ada dalam wanita tidak menjadi alasan wanita kehilangan derajatnya dalam kesetaraan gender.
Walaupun demikian,wanita juga tidak boleh melupakan kodratnya sebagai wanita.Adapun kodrat wanita dalamislamadalah :
1.    Menjadi Kepala Rumah Tangga
Dalam suatu riwayat disebutkan :
“Setiap manusia keturunan Adam adalah kepala, maka seorang pria adalah kepala keluarga, sedangkan wanita adalah kepala rumah tangga.”(HR. Abu Hurairah)
Artinya kodrat wanita sebagai istri kelak akan menjadi kepala rumah tangga, yang mana seorang istri melakukan tugas-tugas yang tidak dapat dilakukan suami, seperti : memasak, mencuci, mengurus rumah tangga,mengasuh anak-anak dan lain-lain.Selain tugas wanita menjadi seorang istri yang mengabdi kepada suami,juga beribadah kepada Allah.Karena pada dasarnya beribadah inilah merupakan tugas utama.
2. Sebagai Ibu dari Anak-Anaknya
Salah satu kodrat wanita yang cukup berat adalah saat wanita harus mengandung dan melahirkan.Bahkan karena sangat susah payahnya wanita dalam melahirkan hingga sampai bertaruh nyawa. Allah menjanjikan pahala yang sama seperti para syuhada.Kedua hal ini merupakan kodrat wanita yang sangat mulia.Namun tidak cukup sampaidisitu,peran yang sebenarnya adalah dikala wanita menjadi ibu yang dapat mendidik anaknya menjadi anak yang cerdas,berakhlak dan taat dalam agamanya.

2.4. Kesetaraan Gender Dalam Al Qur’an
Di dalam ayat-ayat Al Qur an maupun hadits nabi yang merupakan sumber ajaran Islam terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan yang akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan, dansebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan diskriminasi di antara umat manusia.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Hak dan kewajiban Allah terhadap hamba-Nyadan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” ( HR. Bukhari).
Dalam memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara gender dengan seks (jenis kelamin). Kurangnya pemahaman tentang pengertian gender menjadi salah satu penyebab dalam pertentangan menerima suatu analisis gender di suatu persoalan ketidakadilan sosial.
Gender adalah pandangan atau keyakinan yang yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkahlaku maupun berpikir. Misalnya pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah lembut atau keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk yang sensitif, emosional selalu memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumahtangga, rasional dan tegas.
Perbedaan antara jenis kelamin dengan gender yaitu, jenis kelamin lebih condong terhadap fisik seseorang sedangkan gender lebih condong terhadap tingkah lakunya.Selain itu jenis kelamin merupakan status yang melekat atau bawaan sedangkan gender merupakan status yang diperoleh atau diperoleh. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikonstruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Setelah mengetahui perbedaan jenis kelamin dengan gender, maka langkah selanjutnya yaitu kita dapat memahami pengertian “Kesetaraan Gender”. Kesetaraan Gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. Keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi baik terhadap laki – laki maupun perempuan. Sehingga dengan hal ini setiap orang memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan tersebut.
Dalam Surat Al Isra ayat 70 bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dalam kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memilki akal, perasaan dan menerima petunjuk. Berikutartinya:
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Oleh karena itu Al Qur an tidak mengenal perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena di hadapan Allah SWT, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama dan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya.
Adapun dalil-dalil dalam Al Qur an yang mengatur dalam kesetaraan gender adalah:
1.    Tentang Hakikat Penciptaan Laki-Laki Dan Perempuan
Surat Ar Ruumayat21, surat An Nisaaayat1, surat Hujuratayat13, yang intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan supaya mereka hidup tenang dan tenteram agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi. Menunjukkan hubungan yang saling timbal balik antara laki-laki dan perempuan dan tak ada satupun yang superioritas.
2.    Tentang Kedudukan Dan Kesetaraan Antara Laki-Laki Dan Perempuan
Surat Al Imran ayat195, suratAn Nisaaayat 124, surat An Nahl ayat 97, Surat At Taubah ayat 71-72, Al Ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut menunjukkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menegakkan nilai-nilai Islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah juga memberikan peran dan tanggungjawab yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan laki-laki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Kedudukan dan derajat antara laki-laki dan perempuan di mata Allah SWT adalah sama yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.

2.5. Perempuan Dalam Konsep Islam
1.    Perempuan Sebagai Individu
Al Qur’an menyoroti perempuan sebagai individu. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara perempuan dalam kedudukannya sebagai individu dengan perempuan sebagai anggota masyarakat. Al Qur’an memperlakukan baik individu perempuan dan laki-laki adalah sama, karena hal ini berhubungan antara Allah dan individu perempuan dan laki-laki tersebut, sehingga terminologi kelamin(sex) tidak diungkapkan dalam masalah ini. Pernyataan-pernyataan Al Qur’an tentang posisi dan kedudukan perempuan dapat dilihat dalam beberapa ayat berikut:
1.  Perempuan adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai kewajiban samauntuk beribadah kepada-Nya sebagaimana termuat dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 56.
2.  Perempuan adalah pasangan bagi kaum laki-laki termuat dalam Q.S. An-Naba’ayat 8.
3. Perempuan bersama-sama dengan kaum laki-laki juga akan mempertanggungjawabkan secara individu setiap perbuatan dan pilihannya termuat dalam Q. S. Maryam ayat 93-95.
4.  Sama halnya dengan kaum laki-laki mukmin, para perempuan mukminat yang beramal saleh dijanjikan Allah untuk dibahagiakan selama hidup di dunia danabadi di surga. Sebagaimana termuat dalam Q.S. An-Nahl ayat 97.
5.  Sementara itu Rasulullah juga menegaskan bahwa kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki dalam H.R. Ad-Darimy dan Abu Uwanah.
Dalam ayat-ayat-Nya bahkan Al Qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam, sehingga karenanya kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu prinsip Al Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri adalah diakui secara adil(equal) dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas perempuan,dan kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban atas laki-laki. Karena hal tersebutlah maka AlQur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak antara laki-laki dan perempuan.
2.    Perempuan Dan Hak Kepemilikan
Islam sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang berlandaskan keadilan atas kedudukan laki-laki dan perempuan. Selain dalam hal pengambilan keputusan, kaum perempuan dalam Islam juga memiliki hak-hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaannya sendiri, sehingga dan tidak suami ataupun bapaknya dapat mencampuri hartanya. Hal tersebut secara tegas disebutkan dalam An-Nisa’ayat 32 yang artinya:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkanAllah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki adabagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dariapa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kepemilikan atas kekayaannya tersebut termasuk yang didapat melalui warisan ataupun yang diusahakannya sendiri. Oleh karena itu, mahar atau maskawin dalam Islam harus dibayar untuknya sendiri, bukan untuk orang tua dan tidak bisadiambil kembali oleh suami.Sayyid Qutb menegaskan bahwa tentang kelipatan bagian kaum pria dibanding kaum perempuan dalam hal harta warisan, sebagaimana yang tertulisdalam AlQur’an, maka rujukannya adalah watak kaum pria dalam kehidupan, ia menikahi wanita dan bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya selain ia jugabertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya itu.Itulah sebabnya ia berhak memperoleh bagian sebesar bagian untuk dua orang,sementara itu kaum wanita, bila ia bersuami, maka seluruh kebutuhannya ditanggungoleh suaminya, sedangkan bila ia masih gadis atau sudah janda, maka kebutuhannya terpenuhi dengan harta warisan yang ia peroleh, ataupun kalau tidak demikian, iabisa ditanggung oleh kaum kerabat laki-lakinya. Jadi perbedaan yang ada di sini hanyalah perbedaan yang muncul karena karakteristik tanggung jawab mereka yang mempunyai konsekuensi logis dalam pembagian warisan.Islam jugamemberikan jaminan yang penuhkepada kaum wanita dalam bidang keagamaan, pemilikan dan pekerjaan, dan realisasinya dalam jaminan mereka dalam masalah pernikahan yang hanya boleh diselenggarakan dengan izin dan kerelaan wanita-wanita yang akan dinikahkan itutanpa melalui paksaan. Sebagaimanadalamhaditsberikut :
Janganlah menikahkan janda sebelum diajak musyawarah,dan janganlah menikahkan gadis perawan sebelum diminta izinnya, dan izinnyaadalah sikap diamnya” (HR. Bukhari Muslim).
Bahkan Islam memberi jaminan semua hak kepada kaum wanita dengan semangat kemanusiaan yang murni, bukan disertai dengan tekanan ekonomis atau materialis. Islam justru memerangi pemikiran yang mengatakan bahwa kaum wanita hanyalah sekedar alat yang tidak perlu diberi hak-hak. Islam memerangi kebiasan penguburan hidup anak-anak perempuan, dan mengatasinya dengan semangat kemanusiaan yang murni, sehingga ia mengharamkan pembunuhan seperti itu.
3.    Perempuan Dan Pendidikan
Islam memerintahkan baik laki-laki maupun perempuan agar berilmu pengetahuan dan tidak menjadi orang yang bodoh. Allah sangat mengecam orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan, baik laki-laki maupun perempuan.Sebagaimana dalam Q.S. Az-Zumar ayat 9. Kewajiban menuntut ilmu juga ditegaskan nabi dalam hadits yang artinya,“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap laki-laki dan perempuan”(HR.Muslim). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam justru menumbangkan suatusistem sosial yang tidak adil terhadap kaum perempuan dan menggantikannya dengan sistem yang mengandung keadilan. Islam memandang perempuan adalah sama dengan laki-laki dari segi kemanusiannya. Islam memberi hak-hak kepada perempuan sebagaimana yang diberikan kepada kaum laki-laki dan membebankan kewajiban yang sama kepada keduanya.

2.6. Hukum Wanita Bekerja Di Luar Rumah Dalam Perspektif Islam
Kodrat wanita sebenarnya mengurusi urusan rumah, suami dan keluarganya. Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di pundaknya-lah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang ibu memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Inilah keluarga yang ideal dalam Islam, kepala keluarga sebagai penanggung jawab utama urusan luar rumah, dan ibu sebagai penanggung jawab utama urusan dalam rumah. Seorang suami menjadi pemimpin dikarenakan dalam suatu kelompok harus ada yang memimpin dan dari kodrat laki-laki memiliki karakteristik yang tangguh, rasional, kuat,dan sebagainya. Maka dari itu laki-laki dijadikan sebagai kepala rumah tangga atau pemimpin. Sungguh, jika aturan ini benar-benar kita terapkan, dan kita saling memahami tugas masing-masing, niscaya terbangun tatanan masyarakat yang maju dan berimbang dalam bidang moral dan materialnya, tercapai ketentraman lahir batinnya, dan juga teraih kebahagiaan dunia akhiratnya.
Adapun yang mengatakan pekerjaan rumah bukanlah menjadi suatu keharusan atas wanita, terjadi karena ia bekerja secara sukarela. Bahkan sesudah menikahpun pekerjaan rumah menjadi suatu hal yang sukarela bukan menjadi kewajiban karena memang tidak ada di akad nikah. Pekerjaan di dalam dan di luar rumah tidak wajib untuk wanita. Namun, bukan berarti ia tidak boleh mengerjakan apapun dalam kehidupan. Islam menginginkan wanita melaksanakan pekerjaan rumahnya sebagai sumbangsih, bukan sebagai keharusan, karena itu merupakan bentuk pengabdian sosial dalam peranan khususnya.
Bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Allah mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“  (QS. At-Taubah:105).
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Allah juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya. Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Allah berfirman (yang artinya):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29)
Perintah ini berlaku umum, baik pria maupun wanita.Akan tetapi, wajib diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, hendaklah pelaksanaannya bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah, kemungkaran, senantiasa menutupi aurat, menjaga kehormatan diri. Dalam pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat (campur) dengan pria dan tidak menimbulkan fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya harusnya dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah, selalu berusaha memakai hijab syar’i, tertutup, dan menjauh dari sumber-sumber fitnah.
Karena itu, jual beli antara mereka bila dipisahkan dengan pria itu boleh, begitu pula dalam pekerjaan mereka. Yang wanita boleh bekerja sebagai dokter, perawat, dan pengajar khusus untuk wanita, yang pria juga boleh bekerja sebagai dokter dan pengajar khusus untuk pria. Adapun bila wanita menjadi dokter atau perawat untuk pria, sebaliknya pria menjadi dokter atau perawat untuk wanita, maka praktek seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat, karena adanya fitnah dan kerusakan di dalamnya.
Bolehnya bekerja, harus dengan syarat tidak membahayakan agama dan kehormatan, baik untuk wanita maupun pria. Pekerjaan wanita harus bebas dari hal-hal yang membahayakan agama dan kehormatannya, serta tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan moral pada pria. Begitu pula pekerjaan pria harus tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan bagi kaum wanita.
Hendaklah kaum pria dan wanita itu masing-masing bekerja dengan cara yang baik, tidak saling membahayakan antara satu dengan yang lainnya, serta tidak membahayakan masyarakatnya. Kecuali dalam keadaan darurat, jika situasinya mendesak seorang pria boleh mengurusi wanita, misalnya pria boleh mengobati wanita karena tidak adanya wanita yang bisa mengobatinya, begitu pula sebaliknya. Tentunya dengan tetap berusaha menjauhi sumber-sumber fitnah, seperti menyendiri, membuka aurat, dan lain-lain yang bisa menimbulkan fitnah. Ini merupakan pengecualian (hanya boleh dilakukan jika keadaannya darurat).
Peranan wanita sebagai manusia adalah peranannya sebagai istri dan ibu, menjaga anak dan memenuhi semua kebutuhan suami. Ketika seorang ibu sibuk dengan urusan pekerjaannya, maka ia dapat menyerahkan tugas itu kepada orang yang dipercayainya untuk mengisi waktu kosong ketika ibu tidak bisa mendampinginya. Seorang ibu juga harus meluangkan waktu untuk anaknya dengan memberikan kasih sayang dan perhatian agar anak tidak cemas karena kepergiannya. Wanita dapat menggunakan waktu luang untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial bukan berarti wanita dalam keibuannya menjadi terasing dari masyarakat. Tidak juga atas kesibukannya menjadikan wanita lupa akan peran dan tanggung jawab umum sebagai seorang ibu.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan, jika istri ingin bekerja, diantaranya:
1.  Tidak termasuk perbuatan maksiat, seperti menyanyi atau memainkan alat musik, dan tidak mencoreng nama baik keluarga. Apabila wanita rela disewa untuk melakukan sesuatu yang menodai kehormatannya maka keluarga boleh membatalkan akadnya.
2.  Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
3.  Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya. Wanita yang telah menikah adalah manusia yang dapat mengambil kebebasannya di luar komitmen-komitmen rumah tangga. Adapun yang berkaitan dengan komitmen-komitmen rumah tangganya, maka ia harus menundukkan kemauannya kepada kemauan suaminya sebagai konsekuensi dari tabiat komitmen suami-istri.
4.  Tidak mengharuskannya berduaan dengan laki-laki asing. Diharamkan perempuan mempunyai asisten pribadi yang bukan muhrim karena jelas diharamkan oleh agama memungkinkan terjadinya kemaksiatan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan perempuan, karena setan menjadi pihak ketiga.
5.  Pekerjaan yang tidak mengharuskan dirinya berdandan dan membuka aurat ketika keluar rumah karena mengundang syahwat dan perhatian.
6.  Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dan lain-lain.
7.  Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, perempuan dilarang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terbilang berat seperti polisi dan tentara. Dan diperbolehkan pekerjaan ringan seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dan lain-lain.
8.  Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dan lain-lain.
9.  Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dan lain-lain.

2.7. Dampak Positif Dan Negatif Dari Perempuan Karier
Terjunnya perempuan dalam dunia karier, banyak pengaruh terhadap segala aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi dan keluarga maupun kehidupan masyarakat sekitarnya. Hal demikian dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Pengaruh positif dengan adanya perempuan karier, antara lain sebagai berikut :
Dengan berkarier, perempuan dapat mencukupi kebutuhan finansial  dan membantu meringankan beban keluarga yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi kebutuhan, tetapi dengan adanya perempuan ikut berkiprah dalam mencari nafkah maka krisis ekonomi dapat ditanggulangi.
Dengan berkarier, perempuan dapat memberikan pengertian dan penjelasan kepada keluarganya, utamanya kepada putra-putrinya tentang kegiatan-kegiatan yang diikutinya sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam kariernya, putra putrinya akan bangga dan gembira, bahkan menjadikan ibunya sebagai panutan dan suri tauladan bagi masa depannya.
Dalam memajukan serta mensejahterakan masyarakat dan bangsa diperlukan partisipasi serta keikutsertaan kaum perempuan karena dengan segala potensinya, perempuan mampu dalam hal ini, bahkan ada diantara pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan oleh kaum laki-laki dapat berhasil ditangani oleh kaum perempuan baik karena keahlian maupun bakatnya.
Dengan berkarier, perempuan dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya lebih bijaksana, demokratis, dan tidak otoriter sebab dengan kariernya itu ia bisa belajar dan memiliki pola pikir yang modern. Kalau ada problem dalam rumah tangga yang harus diselesaikan, maka ia akan segera mencari jalan keluar secara tepat dan benar.
Dengan berkarier, perempuan yang menghadapi kemelut dalam rumah tangga atau sedang mendapat gangguan jiwa akan terhibur dan jiwanya akan menjadi sehat. Jika seorang tidak bekerja atau diam saja, maka ia akan melamun, berkhayal memikirkan atau mengenangkan hal-hal yang dalam kenyataan tidak dialami atau tidak dirasakannya. Apabila orang terbiasa berkhayal maka khayalan itu akan lebih mengasyikkannya daripada bekerja dan berpikir secara objektif. Orang-orang yang suka menghabiskan waktunya untuk berkhayal itu akan mudah diserang oleh gangguan atau penyakit.
Dampak negatif timbul dengan adanya perempuan karier antara lain, sebagai berikut :
Dari segi negatifnya malah menyimpang, memunculkan adanya kebebasan pribadi dari orang-orang yang sangat tunduk pada tekanan-tekanan mereka, dan menghalalkan segalanya untuk mencapai tujuannya.
Pekerjaan wanita di luar rumah biasanya terjadi bagi wanita yang telah menikah dengan mengorbankan anak dan keluarga, dan kehilangan banyak kedamaian jiwa dikarenakan jauh dari keluarga dan anak dan mengalami banyak problem yang disebabkan berpergian dari rumah (peran pengasuh, peran pembantu, tidak ada kegairahan dalam suami istri, dan sebagainya). Yang diantaranya berpengaruh terhadapa anak, suami, keluarga dan kaum lelaki.

2.8. Upaya Penanggulangan Dampak Negatif Dari Perempuan Karier
Untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya ekses dalam berkarier bagi perempuan muslimah, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :
Dalam berkarier, tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai ibu rumah tangga yaitu, mengurus suami dan anak-anaknya. Ia harus menomorsatukan urusan rumah tangga di atas segalanya. Dalam hal ini, perlu adanya pengaturan yang baik. Apabila perempuan telah menunjukkan aktivitas yang baik dalam membina rumah tangganya, berarti ia bukan saja telah menjalankan tugas kemasyarakatan, tetapi sekaligus juga telah menjalankan sebagian tugas-tugas agama karena ia turut menyumbang andil dalam proses pembangunan bangsa dan syiar agama. Apabila perempuan telah berhasil menciptakan suasana rumah tangga yang bahagia, sejahtera lahir batin, maka anggota keluarganya akan merasa bahagia. Kemudian untuk menanggulangi perpecahan keluarga, harus ada izin suami terhadap dunia karier seorang perempuan sejak awal, karena adanya saling pengertian antara suami dan istri akan muncul saling keterbukaan dan menanamkan keikhlasan bahwa bekerja memperoleh manfaat bersama.
Tidak melampaui batas kodrat perempuan. Perempuan karier harus menghindari women’s libseperti yang dituntut perempuan di barat. Meskipun perempuan itu bisa menjadi kuli atau tukang angkat barang, supir truk, kondektur, kerja di pabrik dan sebagainya, namun hal itu tidak layak ditinjau dari segi kodrat karena memerlukan keterampilan fisik dan tidak pantas secara moral untuk melakukannya. Perempuan yang bekerja tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya akan membawa konsekuensi terhadap ketidakseimbangan antara fisik dan mentalnya. Seperti gejala fisik diantaranya keletihan yang dapat menghilangkan gairah hidup, sedangkan dari segi mental akan dijumpai gejala kejiwaan seperti, selalu ingin marah, merasa cemas, sering sedih, serta stres. Stres bisa menimbulkan konflik antara suami dan anak-anaknya, bahkan dengan orang-orang di tempat kerja.
Tidak melampaui batas-batas dan aturan agama utamanya dengan lawan jenis dalam lingkungan pekerjaan. Sering menimbulkan fitnah dan pengaruh negatif terhadap dirinya, rumah tangganya, dan rumah tangga lawan jenisnya sebab hubungan terus menerus antara laki-laki dan perempuan dalan suatu lingkungan kerja yang akan mendekati dengan perbuatan zina. Jika perempuan dan laki-laki tidak memperhatikan batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama, apalagi kalau perempuan karier itu suka memamerkan perhiasan serta kecantikan, dan terbiasa membuka auratnya. Apabila perempuan karier tetap menjaga akhlaqul karimahdan aturan-aturan agama dalam lingkungan kerjanya, maka kemungkinan timbulnya fitnah dapat dicegah.

2.9. Kewajiban Suami Terhadap Hak Istri Dan Kewajiban Istri Terhadap Hak
Suami
Kewajiban Suami Terhadap Hak Istri
1. Memimpin istri dan anak-anaknya. Dalam surat An-Nisaayat34, yang artinya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Tugas pemimpin rumah tangga menyangkut segala aspek kehidupan keluarga. Seperti layaknya pemimpin laki-laki wajib, melindungi, mendidik, mengawasi dan mengajari hal-hal yang tidak diketahui istri atau anak-anaknya, terutama dalam masalah agama.
2. Nafkah, seorang laki-laki yang telah menikah tentu memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya, seperti diterangkan dalam Q.S Al-Baqarahayat233, yang artinya :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
3. Mahar adalah apabila akad perkawinan telah terlaksana, suami diwajibkan memberikan suatu pemberian kepada istrinya. Dasar hukumnya adalah firman Allah QS. An-Nisaayat4, yang artinya :
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
4. Bergaul dengan Istrinya dengan cara baik. Tercantum dalam QS. An-Nisaayat19, yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksadan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Kewajiban Istri Terhadap Hak Suami
1.    Istri menutup aurat (Q.S.An-Nurayat31) yang menjelaskan bahwa seorang istri harus bisa menjaga pandangan dan tidak mencoba memamerkan perhiasan, jika ingin melakukan hal itu lakukanlah kepada muhrimnya dan berkerudung untuk menutupi aurat.
2.    Taat dan patuh (Q.S. An-Nisaayat34) yang menjelaskan mengenai ketaatan, taat dan patuh istri kepada suami bukan rasa taat dan patuh seperti buruh ke majikannya melainkan rasa taat dan patuh yang dilandasi akan rasa cinta kasih sehingga timbullah rasa sayang kembali yang dikeluarkan oleh sang suami.



2 komentar: